Sastra Jawa dan Persebarannya
Perjalanan sejarah
sastra Jawa dapat ditelusuri dengan melihat koleksi naskah Jawa yang terdapat
dalam pelbagai museum dan perpustakan, terutama di Yogyakarta, Surakarta,
Jakarta. Beberapa perpustakaan di Indonesia yang mengkoleksi naskah Jawa
diantaranya, Perpustakaan Nasional Jakarta, Perpustakaan Sonobudoyo Yogyakarta,
Perpustakaan Pura Pakualaman Yogyakarta, Perpustakaan Kraton Surakarta,
Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta, Perpustakaan Balai Bahasa Yogyakarta,
serta Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Dari pelbagai
naskah itu kita akan jumpai naskah Jawa yang berupa babad, serat-serat,
sastra pewayangan, sastra suluk, dan lainnya
Babad umumnya
berisi tentang sejarah kerajaan atau tokohnya, Serat berisi tentang ajaran
ajaran atau piwulang atau kisah dalam dunia pewayangan, khususnya pada kisah
Mahabrata dan Ramayana, suluk berisi ajaran mengenai hubungan antara manusia
dengan Tuhan Yang Maha Esa, ajaran moral, dll.
1.1 Sastra Kakawin
Jenis sastra Jawa
yang paling tua adalah Ramayana Kakawin dan kitab-kitab parwa yang menceritakan
nenek moyang Kurawa dan Pandawa. Meskipun kisah Ramayana dan Mahabarata berasal
dari India, tetapi isi yang diambil oleh masyarakat Jawa adalah pada
pertentangan antara yang baik dan yang buruk , yang berakhir dengan kemenangan
yang baik. Ada 8 parwa yag dikenal, yaitu : Adiparwa, Wiathaparwa, Udyogaparwa,
Bismaparwa, Asramasaparwa, Mosalaparwa, Prathanikaparwa dan Swargarohanaparwa,
yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada jaman raja Dharmawangsa Teguh di Jawa
Timur pada kahir abad ke 10.
Sastra yang
dipengaruhi India itu mendominasi dunia sastra Jawa dalam waktu yang cukup
lama, karena baru pada jaman Majapahit muncul pembaharuan sastra Jawa dengan
lahirnya Kirab Negarakertagama. Sastra ini mereformasi mitologi India yang
sudah menjadi tradisi di lingkungan masyarakat Jawa, yang tokoh-tokohnya
kemudian diganti dengan tokoh-tokoh Majapahit secara riil. Kalau pada jaman
sebelum Majapahit tokoh-tokoh didalam karya-karya sastra yang ditonjolkan
berupa tokoh mitologis, terutama tokoh yang diambil dari cerita Mahabarata dan
Ramayana, maka pada jaman Majapahit tokoh-tokoh dalam karya sastra adalah
tokoh-tokoh sejarah. Baik tokoh yang hidup dan digambarkan secara riil maupun
tokoh sejarah yang hidupnya telah diolah sebagai mitos, misalnya tokoh-tokoh
dalam serat-serat Panji dan kitab Pararaton.
Pada jaman
Majapahit karya sastra mulai menggarap tokoh-tokoh sejarah yang pola
kelakuannya bisa diteladani, seperti, Hayam Wuruk, Rati Tribuwana, Jayakatwang,
Sora, Nambi dan sebagainya.
1.2 Sastra Piwulang
Di samping karya
sastra sejarah, pada jaman Majaphit muncul pula karya sastra piwulang yang
berisi ajaran tentang norma kelakuan individu dalam masyarakat. Misalnya kitab
Nitisastra dan Dharmasunya. Munculnya kitab sastra piwulang ini juga merupakan
salah satu pembaharuan di bidang sastra Jawa. Pandangan masyarakat telah
bergeser, bukan lagi terpusat pada individu sebagai elemen “jagad gedhe”, melainkan
individu secara mandiri telah dihargai sebagai “jagad cilik”. Ajaran moral yang
tercantum dalam kedua kitab diatas pada dasarnya menuntun individu agar
bertanggungjawab atas jagad ciliknya sendiri.
Setelah Islam
masuk, muncullah kitab suluk, kitab yang berisi ajaran tentang tuntunan
bersatunya seorang mahluk dengan Tuhannya. Berbeda dengan pandangan Jawa Hindu,
seseorang hanya bisa berhubungan dengan Tuhan, kalau dia itu pendeta, raja dan
pujangga. Mereka inilah yang dapat bersatu dengan dewa. Sedangkan kitab-kitab
suluk mengajarkan seseorang dapat berhubungan dengan Tuhannya tanpa perantara,
dan ini berarti suatu penghargaan individu yang sangat tinggi..
Pada jaman Islam
ini, disamping kitab-kitab suluk muncul pula kitab-kitab yang berciri mitologi Islam
seperti kitab Kejajahan, kitab Menak, kitab Rengganis dan kitab Ambiya.
Karya-karya sastra jaman Hindu-Budha terdesak ke belakang. Lahir pula karya
sastra piwulang, seperti serat Nitisruti, serat Nitipraja, dan serat Sewaka,
yang ketiganya berisi petunjuk cara mengabdi kepada raja dan cara memerintah.
1.3 Sastra
Pewayangan
Pada taahun 1.704
AJ atau 1770 AD Paku Buwana III mengalih bahasakan kakawin Arjuna Wiwaha ke
dalam Wiwahajarwa. Hal yang sama juga dilakukan oleh Kyai Yasadipura. Pada
tahun 1723 AJ atau 1797 AD. Kyai Yasadipura I mengalih bahasakan Kitab
Dewa Ruci Jawa tengahan ke dalam bahasa Jawa baru dengan nama Dewa Ruci Jarwa.
Pada tahun 1725 AJ atau 1798 AD Kiai Yasadipura I mengalibbahasakan kitab
Panitisastra bahasa kawi atu bahasa jawa kuna ke dalam bahasa Jawa baru Pada
tahun 1746 AJ atau 1819 AD Kiai Yasadipura II mengalih bahasakan kakawin Arjuna
Wiwaha ke dalam bahasa jawa baru dengan judul Arjuna Sastra atau Lokapala. Pada
tahun 1750 AJ atau 1822 AD Kiai Yasadipura I dan 11 mengalih bahasan kakawin
Ramayana ke dalarn bahasa Jawa baru dengan judul Serat Rama Jarwa. Kemudian
kakawin Bharatayuda dialihbahasakan ke dalam bahasa Jawa baru dengan judul
"Serat Bharatayuda".
Selain sastra jawa
kuna yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Jawa baru, sastra Jawa klasik juga
merupakan karya sastra hasil alih bentuk atau penyesuaian bentuk, Misalnya
Ramayana Karya Walmiki yang berbentuk Sloka. Kemudian kitab Ravanawadha karya
Bhatti yang berbentuk kavya diubah menjadi bentuk kakawin. Utarakandha Ramayana
diubah ke dalam bentuk purwa atau. prosa. Kakawin Arjuna Wlwaha, Arjuna Wijaya,
Ramayana dan Baratayudha diubah ke dalam bentuk macapat atau tembang gedbe,
bahkan kakawin Arjuna Wiwaha oleh Paku Buwana II diubah ke dalam bentuk prosa
oleh M. Priyohutama dengan judul Mintaraga Gancaran. Pada tahun 1758 cerita
kakawin Arjuna Wiwaha ini digubah oleh Sultan Hamengkubuwana I ke dalam bentuk
drama wayang orang.
1.4 Reneisance Sastra Jawa
Karya sastra Jawa
mengalami kebangkitan pada abad XVII dan XIX. Karya-karya itu ditulis dan
digubah oleh para pujangga keraton, terutama Yogyakarta (bekas Mataram) dan
Surakarta. Oleh karena itu pada zaman itu karya sastra mengalami perkembangan
yang pesat, wajarlah jika Piegeud menyebut zaman itu sebagai zaman keemasan
sastra jawa.
Ketika stabilitas
politik terjadi pada jaman Surakarta, para pujangga aktif dengan karya-karya
sastranya, dan yang sangat menonjol adalah karya-karya dalam bentuk metrum
macapat atau puisi macapat. Karya-karya Jawa Kuna seperti serat Batarayuda,
Ramayana, Lokapala, Arjunasasrabau, Wiwahajarwa dirubah dalam bentuk puisi
macapat. Demikian pula sastra piwulang, juga dibentuk dalam puisi macapat
seperti serat Wicarakeras, Sanasusnu oleh Yasadipura II, Wulang Reh dan Wulang
Sunu oleh Sri Sunan Paku Buwana IV, Wedhatama oleh Sri Mangkunegoro IV, serat
Centhini oleh Sri Susuhunan Paku Buwono V. Bentuk metrum macapat ini juga
muncul dalam karya sastra sejarah seperti Babad Giyanti. Babad Pakepung, Babad
Prayut dan sebagainya.
Pada jaman
Surakarta ini juga muncul karya sastra yeng bersifat futuristik (ramalan) yang
banyak digubah oleh pujangga Ranggawarsita, yang terkenal karena ramalannya
dalam Serat Kalatidha.
Pengaruh
penjajahan Belanda juga terlihat pada karya-karya sastra pada masanya, terutama
setelah berdirinya Balai Pustaka yang menerima naskah sastra Jawa. Ciri khusus
dari sastra yang diterbitkan Balai Pustaka ialah tidak lagi mengambil peran
tokoh-tokoh wayang, bukan pula tokoh raja-raja, melainkan dari tokoh imaginer
dari masyarakat konkret.Pemecahan masalah tidak lagi dicari di alam kayangan
atau wasiat adikodrati melainkan ditekankan pada masalah pendidikan,yang waktu
itu telah dirintis di jaman penjajahan Belanda
Menurut perjalanan
sejarahnya, kesusasteraan jawa mengalami perkembangan akibat semakin
menurunnya peran keraton dalam bidang politik dan ekonomi. Hal ini disebabkan
oleh hadirnya kompeni Belanda yang semakin lama semakin menggeser kekuasaan
politik keraton. Oleh karena kekuasaan keraton semakin terdesak dan campur
tangan kompeni semakin mencengkram, seolah-olah keraton jawa kehilangan peran
dan bahkan mencapai puncak krisis. Sehingga keraton lebih banyak berperan
sebagai pusat kesenian dan kesusateraan.
Dalam perjalanan
sejarah, pengaruh politik kompeni Belanda terhadap keraton jawa telah dimulai
sejak kompeni Belanda memberi bantuan kepada keraton Mataram untuk menumpas
pemberontakan Trunajaya sekitar tahun 1677-1680. Setelah Mataram berhasil
memadamkan pemberontakan Trunajaya atas jasa kompeni, pihak Mataram memberikan
fasilitas kemudahan kepada Belanda, antara lain, adalah diijinkan membangun
benteng pertahanan di sekitar keraton. Akan tetapi, Mataram tidak menyadari
bahwa sebenarnya Belanda adalah musuh dalam selimut. Bahkan urusan rumah tangga
politik keraton, sampai pada persoalan pergantian tahta seperti patih dan
bupati, Belanda tidak terlepas dari campur tangannya.
Pengaruh kompeni
Belanda terhadap keraton jawa semakin besar dan memuncak sejak disetujuinya
perjanjian Gianti tahun 1755 yang membagi keraton Matram menjadi dua yaitu,
Yogyakarta dan Surakarta. Disamping menurunnya kekuasaan politik keraton akibat
campur tangan pemerintah kolonial yang menyebabkan situasi keraton bertambah
parah, situasi keraton bertambah kacau lagi akibat pengurangan wilayah-wilayah
keraton oleh pemerintah kolonial. Akibat pengurangan wilayah itu sumber
penghasilan keraton semakin sedikit, kemakmuran raja berkurang, dan rakyat
semakin menderita.
Selang beberapa
tahun kemudian pada masa koloni Inggris, pada tahun 1813, sebagian wilayah
negaragung Yogyakarta diberikan kepada Adipati Pakualam karena jasanya membantu
pemerintahan Inggris. Padahal setahun sebelumnya, tahun 1812, keraton
Yogyakarta dan Surakarta dipaksa untuk menyerahkan negaragung Kedu kepada
Inggris dengan alasan membantu Sultan Hamengkubuwana III naik tahta dan juga
karena alasan Inggris telah melindungi wibawa sunan di Surakarta.
Pengaruh kekuasaan
pemerintahan kolonial yang leluasa ini menyebabkan hubungan kaum bangsawan
dengan orang-orang barat semakin terbuka. Sangatlah wajar jika penetrasi
peradaban barat dengan mudah mengalir ke istana. Bahkan, karena ketergantungan
keraton pada pemerintahan kolonial semakin tidak dihindari, maka pemerintahan
kolonial pun dengan mudah menghentikan aktivitas raja dan para bangsawan dalam
bidang politik dan ekonomi. Dengan demikian, karena tugas politik ekonomi raja
dan bangsawan dikeraton sudah tidak ada lagi, maka tugas mereka dialihkan pada
bidang kesenian dan kesusasteraan. Hal itulah yang disebut kesusateraan jawa
mengalami perkembangan akibat mundurnya peran istana dalam bidang ekonomi dan
politik.
Melihat situasi
masyarakat yang semakin krisis tersebut, akhirnya para pujangga keraton
menggugah diri dan berusaha untuk menegakkan kembali nilai-nilai dan
norma-norma tradisional yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Satu-satunya
jalan yang ditempuh adalah dengan cara menulis dan mengubah sastra yang berisi
ajaran, piwulang, dan sebagainya, yang dimaksudkan sebagi tindakan antisipasi
terhadap gejala-gejala krisis tersebut. Tindakan itu dilandasi oleh pikiran
bahwa konteks masyarakat yang demikian, karya sastra berisi petunjuk-petunjuk
berfunsi sebagai salah satu jalan untuk mempersatukan kekuatan masyarakat
dibawah naungan raja.
Selain karya
sastra diciptakan oleh pujangga dengan tujuan untuk menjaga harkat dan martabat
raja dan bangsawan, juga untuk menegakkan kembali nilai-nilai dan norma-norma
tradisional. Oleh karena itu, jelas bahwa karya sastra diciptakan bukan hanya
untuk memenuhi kebutuhan ‘golongan atas’ di keraton, melainkan juga untuk
kalangan masyarakat luas. Hal yang berkenaan dengan tujuan memenuhi kebutuhan
golongan atas, biasanya karya sastra ditulis sesuai dengan cerminan pandangan
hidup kaum bangsawan yang memberi prioritas pada bidang teologi dan etika.
Namun jika diamati lebih jauh lagi, sebenarnya karya sastra yang menekankan
bidang teologi dan etika itu tidak hanya dikonsumsi golongan atas saja tetapi
juga untuk konsumsi seluruh masyarakat pada umumnya.
sumber: http://elena.unnes.ac.id/mod/page/view.php?id=1320
0 komentar:
Posting Komentar