Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan

BABAD TANAH JAWA

BABAD TANAH JAWA

       Sebuah teori geologi kuno menyebutkan, proses terbentuknya daratan yang terjadi di Asia belahan selatan adalah akibat proses pergerakan anak benua India ke utara, yang bertabrakan dengan lempengan sebelah utara. Pergerakan lempeng bumi inilah yang kemudian melahirkan Gunung Himalaya.
Konon, proses tersebut terjadi pada 20-36 juta tahun yang silam. Anak benua yang di selatan sebagian terendam air laut, sehingga yang muncul di permukaan adalah gugusan-gugusan pulau yang merupakan mata rantai gunung berapi. Gugusan pulau-pulau di Asia Tenggara, yang sebagian adalah Nuswantoro (Nusantara), yang pada zaman dahulu disebut Sweta Dwipa. Dari bagian daratan ini salah satunya adalah gugusan anak benua yang disebut Jawata, yang satu potongan bagiannya adalah pulau Jawa.Jawata artinya gurunya orang Jawa. Wong dari kata Wahong, dan Tiyang dari kata Ti Hyang, yang berarti keturunan atau berasal dari Dewata. Konon karena itulah pulau Bali sampai kini masih dikenal sebagai pulau Dewata, karena juga merupakan potongan dari benua Sweta Dwipa atau Jawata.
Mengingat kalau dulunya anak benua India dan Sweta Dwipa atau Jawata itu satu daerah, maka tidak heran kalau ada budayanya yang hampir sama, atau mudah saling menerima pengaruh. Juga perkembagan agama di wilayah ini, khususnya Hindu dan Budha yang nyaris sama.
Versi mistis :
Pulau terbesar dengan penduduknya paling banyak di seluruh Indonedia ini, tidak menyangka, kalau dahulunya adalah pulau terkecil dan terpecah-belah oleh persilangan laut antara utara dan selatan.
Kisah dipersatukannya seluruh pulau yang terdapat di berbagai pulau Jawa, akibat dari kesaktian yang dimiliki oleh Brahmana Agung bernama Shang Hyang Dewa. Konon dengan kesaktian beliau, pulau itu ditarik satu persatu menjadi pulau terbesar dan dinamakan Bumi Ing Jowo Dwipo.
Semasa pulau ini belum terjamaah oleh manusia, para siluman dari bangsa seleman dan togog telah lebih dulu menduduki hingga ribuan tahun lamanya. Masa itu pulau Jawa disebut dengan nama Mokso Seleman (zaman para lelembut).Namun setelah keturunan dari Shang Hyang Nurasa menduduki bumi Jawa (Shang Hyang Dewa) pulau itu disebut dengan nama bumi pengurip (bumi yang dihidupkan). Shang Hyang Dewa akhirnya moksa di puncak Gunung Tidar, setelah beliau menyatukan berbagai bangsa lelembut untuk menuju jalan Adil (kebenaran), dan dari keturunannya.
Terlahir pula para Shanghyang Agung, seperti Shanghyang Citra Suma, Shanghyang Dinata Dewa, Shanghyang Panca Dria, yang akhirnya dari merekalah sebuah titisan atau wasilah turun-temurun menjadi kerajaan teragung yang absolut.
Baru diabad ke 12, pulau Jawa diperluas dengan tiga aliran yang berbeda, yaitu dengan adanya ajaran Hindu, mokso Jawi dan Islam. Akhir dari ketiga aliran tersebut nantinya menjadi suatu perlambang dari perwatakan penduduk pulau Jawa hingga sekarang ini.
Dalam perluasan arti ketiga diatas, mencerminkan sebuah kehidupan bermasyarakat gemah ripah loh jinawi. Konon ajaran ini hanya ada dipulau Jawa dan seterusnya menyebar ke seluruh pelosok yang ada di Indonesia, seperti ajaran Hindu misalnya, ilmu yang diajarkan oleh para Shanghyang Dewa, ilmu, sebagai aji rasa manunggaling agung.
Lewat bait sansekerta Yunani yang mengupas di dalamnya, kebenaran, keadilan, kejujuran dan memahami sifat alam. Ilmu ini akhirnya diturunkan oleh bapaknya para dewa. Raden Nurasa kepada Nabiyullah Khidir a.s. dan dizaman Wali Songo nanti, ilmu ini dipegang dan menjadi lambang dari sifat kependudukan masyarakat Jawa oleh tiga tokoh Waliyullah, yaitu Sunan Kalijaga, Mbah Cakra Buana dan Khanjeng Syekh Siti Jenar.
Moksa jawi sendiri, sebuah ilmu yang mengupas tentang kedigdayaan ilmu yang bersumber dari raja lelembut, bernama raja lautan. Ini sangat berperan dan menjadi salah satu perwatakan masyarakat Jawa. Konon ajaran yang tergabung di dalamnya mengajarkan arti tirakat, mencegah hawa nafsu dan memahami makna rohani, simbol dari ajaran ilmu ini digambarkan sebagai bentuk keris.
Keris menjadi suatu perlambang dari ajaran orang Jawa, bermula dari seorang Empu, bernama Ki Supo Mandragini. Beliau salah satu santri dari Khanjeng Sunan Ampel Denta yang diberi tugas untuk membuat sebilah keris. Namun rupanya, pemahaman dari sang guru dan murid ini saling berseberangan, disisi lain Sunan Ampel menginginkan sebuah pusaka berupa sebilah pedang sebagai perlambang dari makna Islam. Namun ketidaktahuan Ki Supo Mandragini sendiri, akhirnya beliau membuat sebilah keris berluk 9.
Keris tersebut menjadi penengah antara ajaran Islam dan Hindu bagi orang Jawa, dengan sebutan Islam Kejawen, dan keris pembuatan Ki Supo diberi nama Kyai Sengkelat. Dari kedua aliaran diatas, Islam telah ada di pulau Jawa sejak abad ke 9. Ajaran ini dibawa dari kota Misri oleh seorang Waliyullah Kamil Syekh Sanusi dan muridnya Muhammaad Al Bakhry, dan baru masyhur tentang ajaran Islam di pulau Jawa pada abad 13 dan 14 atau zamannya para Wali Songo.
Pembedaran lain dari keunikan yang terdapat di pulau Jawa pada masa itu, 300 tahun sebelum Wali Songo mendudukinya, para Shanghyang maupun bangsa lelembut seleman telah mengetahui lewat sasmita gaib yang mereka terima, bahwa sebentar lagi pulau Jawa akan dibanjiri para pemimpin makhluk dari berbagai negara.
Mereka dari seluruh alam berkumpul, berdiskusi di puncak Gunung Ciremai, pada masa itu mereka mufakat untuk mengabdi dan membantu, apabila para Waliyullah telah menduduki pulau Jawa. Namun tentunya tidak semua dari mereka setuju, sehingga perpecahan dari dua kubu yang berseberang jalan itu dinamakan Getas Kinatas (terpecahnya satu keluarga atau satu keturunan).
Nanti pada akhirnya tiba, dari Shanghyang Rowis Renggo Jenggala, akan menurunkan beberapa keturunan Saktineng Paku Jawa (orang-orang sakti yang menjdi penguasa pulau Jawa) diantaranya:
- "Arya Bengah" yang menurunkan para putera Majapahit dan keturunannya sampai putera Mataram.
- "Ciung Wanara" yang menurunkan Lutung Kasarung hingga sampai ke silsilah Prabu Agung Galuh atau yang dikenal dengan nama Prabu Munding Wangi atau Prabu Siliwangi.
- "Nyi Mas Ratu Ayu Maharaja Sakti" menurunkan beberapa keturunan berbagai alam diantaranya "Ratu Palaga Inggris, seorang puteri cantik dari bangsa manusia, yang akhirnya dikawin oleh Prabu Siliwangi.
- "Kerta Jasa" maharaja sakti.
- "Sang Kowelan" salah satu anak dari Ratu Palaga Inggris yang berjenis bangsa lelembut, dari beliau pula ucuk umun dan Ratu Kidul dihasilkan.
- Dari "Syekh Sanusi" melahirkan ratusan Waliyullah kondang, diantaranya para Wali Irak, Yaman, Mesir, Turky, dan para Wali Jawa.
Untuk yang berseberangan atau getas kinatas, sebagian dari mereka memilih ngahyang (raib) dan tak pernah muncul lagi dipermukaan bumi dan sebagian lagi mereka mengabdi dengan lewat menjaga semua alam di pulau Jawa.
Diantara yang mengabdi adalah :
- Sih Pohaci, beliau menjaga awan dan langit.
- Sih Parjampi, beliau selalu menjaga bumi dan bertempat pada lapisan bumi nomor dua.
- Sang Sontog, menjaga semua gunung pulau jawa.
- Sang Waluhun, menjaga pantai utara dan selatan.
- Sih Walakat, menjaga seluruh hutan dan pepohonan.
- Sangkala Brahma, menjaga bumi Cirebon.
- Sangkala Wisesa, menjaga bumi Mataram.
- Janggala Putih, menjaga bumi Bogor.
- Sang Lenggang Lumenggang Gajah, menjaga bumi Jakarta.
- Sang Seda Hening, menjaga bumi Banten.
Dan pengguron atau perguruan para purwa, Wali Jawa, diantaranya;
Perguruan, penatas angin Pekalongan.
Perguruan, Agung Waliyullah Ki Bagus Santo Pekalongan.
Perguruan, Pandarang Semarang.
Perguruan, Jambu Karang Purwokerto.
Perguruan, Daon Lumbung Cilacap, dan lain-lain.
Begitulah sepenggal kisah Purwa Jawa.


sumber: http://kisahdanbabad.blogspot.com/2012/07/awal-terbentukny-pulau-jawa.html
 

Sejarah Aksara Jawa



Aksara Jawa, Cikal-Bakal Sejarah Jawa


Aksara Jawa, merupakan salah satu peninggalan budaya yang tak ternilai harganya. Bentuk aksara dan seni pembuatannya pun menjadi suatu peninggalan yang patut untuk dilestarikan. Tak hanya di Jawa, aksara Jawa ini rupanya juga digunakan di daerah Sunda dan Bali, walau memang ada sedikit perbedaan dalam penulisannya. Namun sebenarnya aksara yang digunakan sama saja.
Di bangku Sekolah Dasar, siswa-siswi di Jogja pasti tak asing dengan pelajaran menulis aksara Jawa. Namun tahukah kita bahwa Aksara Jawa yang berjumlah 20 yang terdiri dari Ha Na Ca Ra Ka Da Ta Sa Wa La Pa Dha Ja Ya Nya Ma Ga Ba Ta Nga dinamakan Aksara Legena.
Ya, Aksara Legena merupakan aksara Jawa pokok yang jumlahnya 20 buah. Sebagai pendamping, setiap suku kata tersebut mempunyai pasangan, yakni kata yang berfungsi untuk mengikuti suku kata mati atau tertutup, dengan suku kata berikutnya, kecuali suku kata yang tertutup oleh wignyan, cecak dan layar. Tulisan Jawa bersifat Silabik atau merupakan suku kata. Sebagai tambahan, di dalam aksara Jawa juga dikenal huruf kapital yang dinamakan Aksara Murda. Penggunaannya untuk menulis nama gelar, nama diri, nama geografi, dan nama lembaga.
Aksara Jawa ternyata juga mengalami peralihan. Ada Aksara Jawa Kuno dan Aksara Jawa baru. Namun sulit untuk mengetahui secara pasti kapan masa lahir, masa jaya, dan masa peralihan aksara Jawa kuno dan aksara Jawa baru. “Sangat sulit menemukan kapan lahir ataupun peralihannya. Dikarenakan juga masih sedikit orang yang melakukan penelitian tentang hal ini,” jelas Dra. Sri Ratna Sakti Mulya, M. Hum, Dosen Sastra Jawa UGM. Diprediksi Aksara Jawa Kuno ada pada jaman Mataram Kuno. Aksara Jawa Kuno juga mirip dengan Aksara Kawi. “Jika mau diurut-urutkan, sejarah Aksara Jawa ini berasal dari cerita Aji Saka dan Dewata Cengkar,” tambahnya.
Dari penulisannya pada jaman dahulu pun, ternyata Aksara Jawa dapat dibedakan menjadi 2, yaitu aksara yang ditulis oleh orang-orang Kraton dan aksara yang ditulis oleh masyarakat biasa – lebih dikenal dengan sebutan Aksara Pesisir. Aksara Kraton mempunyai bentuk yang jauh lebih rapi. Aksara-aksaranya ditulis dengan jelas dan rapi, serta naskah sering dihiasi dengan gambar ornamen-ornamen yang mempunyai arti tersembunyi. “Setiap gambar yang menghiasi halaman naskah, mempunyai arti dan maknanya masing-masing. Kadang juga dihiasi dengan tinta emas asli. Dan ini semuanya adalah tulisan tangan,” jelas Bapak Rimawan, Abdi Dalem yang membantu mengelola Perpustakaan Pakualaman. Sedangkan aksara Pesisir, penulisannya kurang rapi.
Sebagai salah satu cara pelestarian, banyak koleksi naskah aksara Jawa sejak jaman dahulu tersimpan rapi di Perpustakaan Pakualaman dan Perpustakaan Kraton. Perpustakaan Pakualaman menyimpan sekitar 251 naskah kuno yang dikumpulkan mulai sejak masa Pakualam I hingga Pakualam VII.
Aksara Jawa sudah mendapat pengakuan resmi dari Unicode, lembaga di bawah naungan UNESCO. Pengakuan ini diberikan pada 2 Oktober 2009, bersamaan dengan penetapan batik sebagai warisan budaya tak benda Indonesia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Dengan pengakuan itu, kini aksara Jawa bisa dipakai untuk komputer yang setara dengan huruf lain di dunia yang telah digunakan dalam komputer, seperti Latin, Cina, Arab, dan Jepang.
Pengakuan tersebut diberikan setelah Ki Demang Sokowaten dari Yogyakarta pada 9 September 2007 silam mendaftarkannya ke Unicode. Banyak keuntungan bagi Indonesia apabila aksara Jawa diakui UNESCO sebagai simbol salah satu bahasa ibu di dunia, diantaranya: terlindungi dari ancaman kepunahan, melindungi dan melestarikan sendi-sendi kebudayaan aksara Jawa, serta tidak bisa dicuri atau diklaim pihak manapun.
Aksara Jawa Hanacaraka atau yang dikenal dengan nama Carakan termasuk ke dalam kelompok turunan aksara Brahmi, yang digunakan atau pernah digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, bahasa Madura, bahasa Sunda, bahasa Bali, dan bahasa Sasak. Aksara Brahmi sendiri merupakan turunan dari aksara Assyiria.
Aksara Jawa modern adalah modifikasi dari aksara Kawi dan merupakan abugida. Hal ini bisa dilihat dari struktur masing-masing huruf yang paling tidak mewakili dua buah huruf (aksara) dalam huruf latin. Sebagai contoh aksara Ha mewakili dua huruf yakni H dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata “hari”. Aksara Na mewakili dua huruf, yakni N dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata “nabi”. Dengan demikian, terdapat penyingkatan cacah huruf dalam suatu penulisan kata apabila dibandingkan dengan penulisan aksara latin.
Pada bentuknya yang asli, aksara Jawa Hanacaraka ditulis menggantung (di bawah garis), seperti aksara Hindi. Namun demikian, pengajaran modern sekarang menuliskannya di atas garis.
Aksara Jawa Hanacaraka memiliki 20 huruf dasar, 20 huruf pasangan yang berfungsi menutup bunyi vokal, 8 huruf “utama” (aksara murda, ada yang tidak berpasangan), 8 pasangan huruf utama, lima aksara swara (huruf vokal depan), lima aksara rekan dan lima pasangannya, beberapa sandhangan sebagai pengatur vokal, beberapa huruf khusus, beberapa tanda baca, dan beberapa tanda pengatur tata penulisan.
1. Huruf Dasar (Aksara Nglegena)
Pada aksara Jawa Hanacaraka baku terdapat 20 huruf dasar (aksara nglegena), yang biasa diurutkan menjadi suatu “cerita pendek”:
* ha na ca ra ka
* da ta sa wa la
* pa dha ([dha]) ja ya nya ([ɲa])
* ma ga ba tha ([ʈa]) nga ([ŋa])
2. Huruf Pasangan (Aksara Pasangan)
Pasangan dipakai untuk menekan vokal konsonan di depannya. Sebagai contoh, untuk menuliskan mangan sega akan diperlukan pasangan untuk “se” agar “n” pada mangan tidak bersuara. Tanpa pasangan “s” tulisan akan terbaca manganasega.
Tatacara penulisan Jawa Hanacaraka tidak mengenal spasi, sehingga penggunaan pasangan dapat memperjelas kluster kata.
3. Huruf Utama (Aksara Murda)
4. Huruf Vokal Mandiri (Aksara Swara)
5. Huruf Tambahan (Aksara rèkan)
6. Huruf Vokal Tidak Mandiri (Sandhangan)
7. Tanda Baca (Pratandha)
Gaya Penulisan (Style, Gagrag) Aksara Jawa
a. Berdasarkan bentuk aksara dibagi menjadi 3, yakni:
1. Ngetumbar
2. Mbata Sarimbag
3. Mucuk Eri
b. Berdasarkan daerah asal Pujangga/Manuskrip, dikenal gaya penulisan aksara Jawa:
* Yogjakarta
* Surakarta
Penggunaan (pengejaan) Hanacaraka pertama kali dilokakaryakan pada tahun 1926 untuk menyeragamkan tata cara penulisan aksara ini. Pertemuan pertama menghasilkan Wewaton Sriwedari (Ketetapan Sriwedari), yang memberi landasan dasar bagi pengejaan tulisan. Nama Sriwedari digunakan karena loka karya itu berlangsung di Sriwedari, Surakarta. Salah satu perubahan yang penting adalah pengurangan penggunaan taling-tarung bagi bunyi /o/. Alih-alih penulisan ejaan baru menjadi bentuk Ronggawarsita -bentuk ini banyak dipakai pada naskah-naskah abad ke-19- dengan mengurangi penggunaan taling-tarung.
Modifikasi ejaan baru dilakukan lagi tujuh puluh tahun kemudian, seiring dengan keprihatinan para ahli mengenai turunnya minat generasi baru dalam mempelajari tulisan Hanacaraka. Kemudian dikeluarkanlah Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga gubernur (Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur) pada tahun 1996 yang berusaha menyelaraskan tata cara penulisan yang diajarkan di sekolah-sekolah di ketiga provinsi tersebut.
Tonggak perubahan lainnya adalah aturan yang dikeluarkan pada Kongres Basa Jawa III 15-21 Juli 2001 di Yogyakarta. Kongres ini menghasilkan perubahan beberapa penyederhanaan penulisan bentuk-bentuk gabungan (kata dasar + imbuhan).
Ada sedikit perbedaan dalam Cacarakan Sunda dimana aksara “Nya” dituliskan dengan menggunakan aksara “Na” yang mendapat pasangan “Nya”. Sedangkan Aksara “Da” dan “Tha” tidak digunakan dalam Cacarakan Sunda. Juga ada penambahan aksara Vokal Mandiri “É” dan “Eu”, sandhangan “eu” dan “tolong”.
Integrasi Aksara Jawa Hanacaraka ke dalam Sistem Informasi Komputer.
Usaha-usaha untuk mengintegrasikan aksara ini ke sistem informasi elektronik telah dilakukan sejak 1983 oleh peneliti dari Universitas Leiden (dipimpin Willem Van Molen). Integrasi ini diperlukan agar setiap anggota aksara Jawa memiliki kode yang khas dan diakui di seluruh dunia.
Jeroen Hellingman mengajukan proposal untuk mendaftarkan aksara ini ke Unicode  pada pertengahan tahun 1993 dan Maret 1998. Selanjutnya, Jason Glavy membuat “font” aksara Jawa yang diedarkan secara bebas sejak 2002 dan mengajukan proposal pula ke Unicode. Di Indonesia Ermawan Pratomo membuat font Hanacaraka pada tahun 2001,Teguh Budi Sayoga pada tahun 2004 telah membuat font aksara Jawa untuk Windows (disebut “Hanacaraka”) berdasarkan ANSI. Matthew Arciniega membuat screen font untuk Mac pada tahun 1992 dan ia namakan “Surakarta”. Yang terbaru adalah yang digarap oleh Bayu Kusuma Purwanto (2006), yang dapat diekspor ke dalam html.
Baru sejak awal 2005 dilakukan usaha bertahap yang nyata untuk mengintegrasikan aksara Jawa ke dalam Unicode setelah Michael Everson membuat suatu code table sementara untuk didaftarkan. Kelambatan ini terjadi karena kurangnya dukungan dari masyarakat pengguna aksara ini. Aksara Jawa Hanacara saat ini telah dirilis dalam Unicode versi 5.2 (tergabung dalam Amandemen 6) yang keluar pada tanggal 1 Oktober 2009. Alokasi Memori Aksara Jawa (Javanese) pada Unicode 5.2.0 adalah di alamat A980 sampai dengan A9DF.


Jejak Aksara Nusantara


Pengunjung memotret koleksi pada Pameran Lambang dan Aksara Nusantara di Museum Nasional, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu. Pameran tersebut bertujuan memperkenalkan kekayaan Nusantara dalam hal penggunaan lambang dan aksara.
KOMPAS, Sabtu, 24 Desember 2011 – Pertengahan Oktober, misi kebudayaan China menggelar Pameran Seni Ukir Stempel dan Kaligrafi China di Museum Nasional Jakarta. Saat yang sama, pihak museum juga memamerkan Lambang dan Aksara Nusantara yang keberadaannya nyaris dilupakan orang.
Berbeda dengan China, Jepang, Korea, atau beberapa negara di wilayah Asia lain, aksara Nusantara tergerus oleh aksara Latin yang dibawa penjelajah dunia dari Barat. Padahal, sebelum aksara Latin dibakukan di Indonesia, beragam aksara di Nusantara berkembang dan bertahan selama berabad-abad.
”Aksara Nusantara kini hanya dipelajari oleh ahli epigrafi, yaitu ilmu mengenai tulisan pada batu, logam, dan bahan-bahan keras lain. Selebihnya, aksara Nusantara menjadi bagian dari kurikulum muatan lokal di sekolah atau menjadi penanda jalan di suatu daerah,” kata Intan Mardiana, Direktur Permuseuman pada Direktorat Sejarah dan Purbakala Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, beberapa waktu lalu.
Museum Nasional memamerkan beragam jenis aksara yang pernah berkembang di Indonesia. Aksara-aksara itu dituliskan dalam berbagai medium, seperti batu (prasasti), lempengan logam, koin, baju, perisai, piring, dan mangkok.
Agus Arismunandar dari Departemen Arkeologi Universitas Indonesia mengatakan, aksara adalah temuan manusia paling mutakhir dalam hal penciptaan simbol dari bunyi-bunyian yang diucapkan manusia (bahasa). Dengan aksara, segala pengetahuan manusia dapat didokumentasikan, diakumulasikan, dan dimanfaatkan untuk mengembangkan kebudayaan.
Penelitian para ahli antropologi fisik mengungkap, manusia purba di Indonesia, seperti Pithecanthropus sudah memiliki kemampuan bertutur. Namun, sejak kapan manusia di bumi Nusantara mulai mengenal aksara dan bagaimana proses perkembangannya?
Menurut arkeolog ahli epigrafi, Hasan Djafar, perkembangan aksara di dunia berbeda-beda. Di Mesir, aksara berkembang sejak 2.000 tahun silam, demikian juga China.
Di Indonesia, aksara baru dikenal abad ke-5 Masehi. Masuknya aksara ke wilayah Nusantara merupakan bagian dari proses perubahan sosial budaya di kawasan Asia Tenggara pada awal tarikh Masehi.
Awal Masehi, kawasan Asia Tenggara mulai menjalin hubungan pelayaran dan perdagangan dengan India dan China. Beberapa daerah di sepanjang jalur ini terlibat kontak budaya dengan pedagang dan pelaut, terutama dari India.
”Kontak kebudayaan ini menyebabkan penyerapan unsur-unsur kebudayaan India dalam kebudayaan Nusantara, termasuk pemakaian bahasa Sanskerta dan aksara Palawa,” kata Hasan. Unsur kebudayaan ”asing” ini kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat setempat.
Jejak aksara dari India ini bisa ditelusuri dari temuan yupa atau prasasti berbentuk tiang batu dari masa Kerajaan Mulawarman di Kalimantan dan Kerajaan Tarumanegara di Karawang, Jawa Barat. Prasasti kedua kerajaan itu diperkirakan dari masa abad ke-5 Masehi.
Menurut Hasan, sebenarnya masyarakat di kedua kerajaan itu sudah memiliki bahasa sendiri, tetapi mereka belum memiliki aksara. Oleh karena itu, untuk membuat prasasti, mereka ”meminjam” bahasa Sanskerta dan aksara Palawa yang pada masa itu sudah dikenal melalui kitab agama Hindu-Buddha.
Melalui aksara Palawa yang tertera dalam prasasti, para ahli epigrafi bisa menyimpulkan bahwa kisah sejarah dari yupa Kerajaan Mulawarman berbeda dengan yupa dari Kerajaan Tarumanegara.
Yupa Kerajaan Mulawarman lebih banyak berkisah tentang hal-hal menyangkut keagamaan, seperti penyerahan 1.000 sapi sebagai korban kepada para brahmana. Adapun yupa Tarumanegara lebih banyak berisi penetapan suatu daerah atau pembangunan fisik yang dilakukan kerajaan. Kedua aksara di kerajaan ini termasuk dalam kelompok aksara Palawa Awal.
Perkembangan aksara Palawa di Kalimantan terhenti setelah tidak ada lagi kerajaan besar pasca-Mulawarman. Sedangkan aksara Palawa dari masa Kerajaan Tarumanegara terus dikembangkan.
Pada abad ke-6 hingga ke-8 Masehi muncul varian baru yang dikembangkan dari aksara Palawa Awal. Varian baru itu dikategorikan sebagai aksara Palawa Akhir.
Adaptasi dan inovasi menjadi aksara baru dilakukan di Kerajaan Tarumanegara, kemudian menyebar ke arah timur, memasuki wilayah Jawa Tengah.
Pemakaian aksara Palawa Akhir ini bisa ditelusuri dari prasasti Tukmas berangka tahun 578 Masehi dan prasasti Canggal 732 Masehi. Keduanya ditemukan di Magelang, Jawa Tengah. Pemakaian aksara itu menyebar sampai ke Palembang, Jambi, dan Lampung.
Proses adaptasi selanjutnya menghasilkan aksara Jawa Kuna yang mampu bertahan sejak pertengahan abad ke-7 hingga masa Kerajaan Majapahit sekitar abad ke-15. Pada rentang periode itu muncul aksara lain yang datang dari India, yaitu aksara Nagari. Bentuk aksara Nagari berbeda dengan Palawa, yaitu menggantung, sedangkan aksara Palawa berbentuk bulat.
Salah satu jejak aksara ini bisa ditemukan di Candi Kalasan, Jawa Tengah. Sedangkan aksara Jawa Kuna berkembang sampai ke Jawa Barat. Sebelumnya, di daerah itu masyarakat memiliki bahasa Sunda Buhun dengan aksara Kaganga