Upacara
di Makam Ki Ageng Tarub
Letak
makam leluhur Mataram ini bertempat di desa Tarub Kecamatan Tawangharjo
Kabupaten Grobogan. Pelaksanaan upacara dipimpin oleh KRT Hastono Adipuro,
seorang tokoh spiritual yang sangat peduli pada upacara tradisional warisan
nenek moyang.
Kompleks
makam terdiri dari cungkup makam Ki Ageng Tarub dan RM Bondan Kejawan.
Bangunannya mirip Masjid Demak. Unsur Islam dan budaya Jawa terpadu indah. Di
sebelahnya terdapat kantor juru kunci. Di situ ketuanya KRT Hastono Adipuro
dengan pelindung Pangageng Sasono Wilopo Kraton Surakarta Hadiningrat. Dengan
demikian makam ini tetap di bawah kekuasaan kraton Surakarta yang merupakan
kelanjutan dari dinasti Mataram, Pajang, Demak, dan Majapahit.
Tempat
wudhu berbentuk istimewa. Padasan ini berupa genthong. Airnya berasal dari
sendang Widodari. Gapura masuk dengan pagar yang mengelilingi makam tidak
terlalu tinggi, tetapi cukup indah dan asri. Dari luar bisa dilihat suasana
makam. Karena pagar ini setinggi orang dewasa. Dalam kompleks makam ini tertata
rapi dan bersih.
Pintu
cungkup pertama adalah makam Raden Mas Bondan Kejawan. Beliau adalah cucu Prabu
Brawijaya, raja Majapahit. Cungkup kedua adalah makam Ki Ageng Tarub.
Kedua-duanya seperti bangunan kembar. Sekilas seperti dua bangunan masjid. Di
antara kedua makam itu dipisahkan sungai, airnya gemericik mengalir. Di
tengah-tengahnya adalah pohon Sambi. Tingginya pohon Sambi yang rindang dan
rimbun ini menambah wibawa makam.
Bagi
kalangan kejawen, Ki Ageng Trub merupakan tokoh spiritual legendaris. Beliau
adalah suami Dewi Nawangwulan. Seorang bidadari cantik yang amat dihormati oleh
para petani. Konon, Dewi Nawangwulan mampu mencegah masa paceklik, sehingga
petani tetap kecukupan sandang dan pangan. Perkawinan antara Joko Tarub dengan
Dewi Nawangwulan ini menurunkan Dewi Nawangsih. Sedangkan Joko Tarub sendiri
adalah putra RM Bondan Kejawan.
Kelak
Nawangsih diambil istri oleh Ki Ageng Sela. Beliau adalah tokoh sakti
mandraguna yang mampu menangkap petir. Bila ada kilat dan petir yang
menggelegar, maka dilampirkan untuk bilang bahwa dirinya adalah cucu Ki Ageng
Sela. Ditanggung pasti selamat. Hanya saja, makam Ki Ageng Sela terpisah dengan
jarak 5 km, sama-sama di wilayah Kabupaten Grobogan.
Dalam
Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa Ki Ageng Sela termasuk figur yang turut
mengasuh Joko Tingkir. Atas petunjuk Ki Ageng Sela pula, Joko Tingkir atau Mas
Karebet bersedia mengabdi ke Kasultanan Demak Bintoro. Joko Tingkir akhirnya
diambil menantu raja Demak Sultan Trenggono. Surutnya kraton Demak, panggung
kekuasaan di Tanah Jawa digantikan oleh Kasultanan Pajang. Rajanya adalah Joko
Tingkir atau Mas Karebet dengan gelar Sultan Hadiwijaya.
Menurut
Babad Tanah Jawi, ayah Joko Tingkir bernama Ki Kebo Kenongo atau Ki Ageng
Pengging. Kawan-kawannya yaitu Ki Ageng Selo, Ki Ageng Butuh, Ki Ageng
Banyubiru, dan Ki Ageng Pringapus. Mereka adalah guru kebatinan yang handal dan
mumpuni. Keberadaan mereka amat berpengaruh di lingkungan masyarakat Jawa. Ki
Kebo Kenanga adalah putra Bupati Pengging yaitu Adipati Handayaningrat,
istrinya bernama Ratu Pembayun, putra Prabu Brawijaya yang sulung. Dengan
demikian, Joko Tingkir dan istrinya, Ratu Kambang merupakan pertemuan dua
dinasti besar. Putra Adipati Handayaningrat yang lain adalah Ki Kebo Kanigoro
dan Lembu Amiluhur.
Jalannya
upacara diawali dengan kirap ampilan dari kraton Surakarta yang dipimpin GKR
Wandansari. Kali ini beliau bertindak selaku Pengageng Sasana Wilapa Kraton
Surakarta Hadiningrat. Sehari-hari putri Sinuwun Paku Buwono XII ini akrab
dipanggil dengan nama GKR Koes Moertiyah atau Gusti Mung. Kebetulan menjabat
sebagai anggota DPR pusat. Tak ketinggaln pula adalah GKR Ayu Koes Indriyah
yang menjabat sebagai anggota DPR RI. Diikuti pula GKR Galuh Kencono, yang dulu
pernah mendampingi sebagai istri Gubernur Kalimantan Tengah.
Kira-kira
pukul 14.00 upacara dimulai. Masyarakat sekitar jejel riyel mengikuti upacara wilujengan dengan tertib dan khusuk.
Rintik-rintik hujan tak dihiraukan. Tekad kuat untuk ngalap berkah lebih tinggi
bila dibanding dengan kucuran curah hujan. Ngeman-emani,
sungguh sayang bila ditinggalkan begitu saja. Karena upacara ini hanya
diselenggarakan setahun sekali, maka jelas tak akan dilewatkan.
Pranata
adicara yang berbusana Kraton Surakarta segera membacakan urut-urutan acara.
Terlebih dulu dibacakan buat keselamatan segenap keturunan Ki Ageng Tarub.
Tahlil, Tahmid dan Takbir dibacakan dengan dipimpin oleh ulama kraton. Doa-doa
yang dikumandangkan benar-benar khas. Islam dan irama Jawa dikemas dengan amat
menarik. Itulah wujud Islam kejawen.
Pengageng
Sasana Wilapa segera memberi kata sambutan. Rupa-rupanya masyarakat terlalu
mengenal tokoh-tokoh Kraton Surakarta. Terbukti saat Gusti Mung berpidato,
orang-orang ndomblong atau bengong.
Berebut untuk melihat kayak apa wajah para pengageng kraton tersebut. Meskipun
harus berdiri dan berhujan-hujan, namun tetap saja mereka bersemangat. Ternyata
yang hadir juga dari wilayah lain: Pati, Demak, Kudus dan Jepara.
Pemerintah
Kabupaten Grobogan betul-betul ikut menjaga keagungan makam. Tiap ada upacara
di makam, pihak kabupaten turut serta. Bila perlu Bupati sendiri yang memberi
kata sambutan. Masyarakat Grobogan bangga bahwa di daerahnya terdapat makam
leluhur para raja. Rakyat, pemerintah dan kraton bersatu pada nguri-uri
keagungan makam leluhur para raja di tanah Jawa.
Beragam
tumpeng disajikan untuk memenuhi syarat dan jalannya upacara. Ingkung, jajan pasar, godhogan kacang, tela,
segala pala pendhem ada. Hasil bumi dibuat sesaji sebagai tanda syukur pada
Tuhan. Masyarakat berebut brekat
untuk ngalap berkah. Doa penutup
menandai acara berakhir. Masyarakat pun dengan tertib bubar untuk pulang ke
rumah masing-masing.
Di
luar kompleks makam ada tanaman jati. Komoditas dengan kualitas prima dari
Grobogan. Pada masa depan semoga berjumpa dengan jaman keemasan. Doa-doa yang
mulia ini akan dikabulkan pleh Tuhan, yakni masyarakat adil makmur, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta
raharja.