Aksara Jawa, Cikal-Bakal Sejarah Jawa

Di bangku Sekolah Dasar, siswa-siswi di Jogja pasti tak
asing dengan pelajaran menulis aksara Jawa. Namun tahukah kita bahwa Aksara
Jawa yang berjumlah 20 yang terdiri dari Ha Na Ca Ra Ka Da Ta Sa Wa La Pa Dha
Ja Ya Nya Ma Ga Ba Ta Nga dinamakan Aksara Legena.
Ya, Aksara Legena merupakan aksara Jawa
pokok yang jumlahnya 20 buah. Sebagai pendamping, setiap suku kata tersebut
mempunyai pasangan, yakni kata yang berfungsi untuk mengikuti suku kata mati
atau tertutup, dengan suku kata berikutnya, kecuali suku kata yang tertutup
oleh wignyan, cecak dan layar. Tulisan Jawa bersifat
Silabik atau merupakan suku kata. Sebagai tambahan, di dalam aksara Jawa juga
dikenal huruf kapital yang dinamakan Aksara Murda. Penggunaannya untuk menulis
nama gelar, nama diri, nama geografi, dan nama lembaga.
Aksara Jawa ternyata juga mengalami peralihan. Ada Aksara
Jawa Kuno dan Aksara Jawa baru. Namun sulit untuk mengetahui secara pasti kapan
masa lahir, masa jaya, dan masa peralihan aksara Jawa kuno dan aksara Jawa
baru. “Sangat sulit menemukan kapan lahir ataupun peralihannya. Dikarenakan
juga masih sedikit orang yang melakukan penelitian tentang hal ini,” jelas Dra.
Sri Ratna Sakti Mulya, M. Hum, Dosen Sastra Jawa UGM. Diprediksi Aksara Jawa
Kuno ada pada jaman Mataram Kuno. Aksara Jawa Kuno juga mirip dengan Aksara
Kawi. “Jika mau diurut-urutkan, sejarah Aksara Jawa ini berasal dari cerita Aji
Saka dan Dewata Cengkar,” tambahnya.
Dari penulisannya pada jaman dahulu pun, ternyata Aksara
Jawa dapat dibedakan menjadi 2, yaitu aksara yang ditulis oleh orang-orang
Kraton dan aksara yang ditulis oleh masyarakat biasa – lebih dikenal dengan sebutan
Aksara Pesisir. Aksara Kraton mempunyai bentuk yang jauh lebih rapi.
Aksara-aksaranya ditulis dengan jelas dan rapi, serta naskah sering dihiasi
dengan gambar ornamen-ornamen yang mempunyai arti tersembunyi. “Setiap gambar
yang menghiasi halaman naskah, mempunyai arti dan maknanya masing-masing.
Kadang juga dihiasi dengan tinta emas asli. Dan ini semuanya adalah tulisan
tangan,” jelas Bapak Rimawan, Abdi Dalem yang membantu mengelola Perpustakaan
Pakualaman. Sedangkan aksara Pesisir, penulisannya kurang rapi.
Sebagai salah satu cara pelestarian, banyak koleksi naskah
aksara Jawa sejak jaman dahulu tersimpan rapi di Perpustakaan Pakualaman dan
Perpustakaan Kraton. Perpustakaan Pakualaman menyimpan sekitar 251 naskah kuno
yang dikumpulkan mulai sejak masa Pakualam I hingga Pakualam VII.
Aksara Jawa sudah mendapat pengakuan resmi dari Unicode,
lembaga di bawah naungan UNESCO. Pengakuan ini diberikan pada 2 Oktober 2009,
bersamaan dengan penetapan batik sebagai warisan budaya tak benda Indonesia
oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (UNESCO). Dengan pengakuan itu, kini aksara Jawa bisa dipakai
untuk komputer yang setara dengan huruf lain di dunia yang telah digunakan
dalam komputer, seperti Latin, Cina, Arab, dan Jepang.
Pengakuan tersebut diberikan setelah Ki Demang Sokowaten
dari Yogyakarta pada 9 September 2007 silam mendaftarkannya ke Unicode. Banyak
keuntungan bagi Indonesia apabila aksara Jawa diakui UNESCO sebagai simbol
salah satu bahasa ibu di dunia, diantaranya: terlindungi dari ancaman
kepunahan, melindungi dan melestarikan sendi-sendi kebudayaan aksara Jawa,
serta tidak bisa dicuri atau diklaim pihak manapun.
Aksara Jawa Hanacaraka atau yang dikenal dengan nama Carakan
termasuk ke dalam kelompok turunan aksara Brahmi, yang digunakan atau pernah
digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, bahasa Madura, bahasa
Sunda, bahasa Bali, dan bahasa Sasak. Aksara Brahmi sendiri merupakan turunan
dari aksara Assyiria.
Aksara Jawa modern adalah modifikasi dari aksara Kawi dan
merupakan abugida. Hal ini bisa dilihat dari struktur masing-masing huruf yang
paling tidak mewakili dua buah huruf (aksara) dalam huruf latin. Sebagai contoh
aksara Ha mewakili dua huruf yakni H dan A, dan merupakan satu suku kata yang
utuh bila dibandingkan dengan kata “hari”. Aksara Na mewakili dua huruf, yakni
N dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata
“nabi”. Dengan demikian, terdapat penyingkatan cacah huruf dalam suatu
penulisan kata apabila dibandingkan dengan penulisan aksara latin.
Pada bentuknya yang asli, aksara Jawa Hanacaraka ditulis
menggantung (di bawah garis), seperti aksara Hindi. Namun demikian, pengajaran
modern sekarang menuliskannya di atas garis.
Aksara Jawa Hanacaraka memiliki 20 huruf dasar, 20 huruf
pasangan yang berfungsi menutup bunyi vokal, 8 huruf “utama” (aksara murda, ada
yang tidak berpasangan), 8 pasangan huruf utama, lima aksara swara (huruf vokal
depan), lima aksara rekan dan lima pasangannya, beberapa sandhangan sebagai
pengatur vokal, beberapa huruf khusus, beberapa tanda baca, dan beberapa tanda
pengatur tata penulisan.
1. Huruf Dasar (Aksara Nglegena)
Pada aksara Jawa Hanacaraka baku terdapat 20 huruf dasar
(aksara nglegena), yang biasa diurutkan menjadi suatu “cerita pendek”:
* ha na ca ra ka
* da ta sa wa la
* pa dha ([dha]) ja ya nya ([ɲa])
* ma ga ba tha ([ʈa]) nga ([ŋa])
* da ta sa wa la
* pa dha ([dha]) ja ya nya ([ɲa])
* ma ga ba tha ([ʈa]) nga ([ŋa])
2. Huruf Pasangan (Aksara Pasangan)
Pasangan dipakai untuk menekan vokal konsonan di depannya.
Sebagai contoh, untuk menuliskan mangan sega akan diperlukan pasangan untuk
“se” agar “n” pada mangan tidak bersuara. Tanpa pasangan “s” tulisan akan
terbaca manganasega.
Tatacara penulisan Jawa Hanacaraka tidak mengenal spasi,
sehingga penggunaan pasangan dapat memperjelas kluster kata.
3. Huruf Utama (Aksara Murda)
4. Huruf Vokal Mandiri (Aksara Swara)
5. Huruf Tambahan (Aksara rèkan)
6. Huruf Vokal Tidak Mandiri (Sandhangan)
7. Tanda Baca (Pratandha)
Gaya Penulisan (Style, Gagrag) Aksara Jawa
a. Berdasarkan bentuk aksara dibagi menjadi 3, yakni:
1. Ngetumbar
2. Mbata Sarimbag
3. Mucuk Eri
b. Berdasarkan daerah asal Pujangga/Manuskrip, dikenal gaya
penulisan aksara Jawa:
* Yogjakarta
* Surakarta
* Surakarta
Penggunaan (pengejaan) Hanacaraka pertama kali
dilokakaryakan pada tahun 1926 untuk menyeragamkan tata cara penulisan aksara
ini. Pertemuan pertama menghasilkan Wewaton Sriwedari (Ketetapan Sriwedari),
yang memberi landasan dasar bagi pengejaan tulisan. Nama Sriwedari digunakan
karena loka karya itu berlangsung di Sriwedari, Surakarta. Salah satu perubahan
yang penting adalah pengurangan penggunaan taling-tarung bagi bunyi /o/.
Alih-alih penulisan ejaan baru menjadi bentuk Ronggawarsita -bentuk ini banyak
dipakai pada naskah-naskah abad ke-19- dengan mengurangi penggunaan
taling-tarung.
Modifikasi ejaan baru dilakukan lagi tujuh puluh tahun
kemudian, seiring dengan keprihatinan para ahli mengenai turunnya minat
generasi baru dalam mempelajari tulisan Hanacaraka. Kemudian dikeluarkanlah
Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga gubernur (Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan
Jawa Timur) pada tahun 1996 yang berusaha menyelaraskan tata cara penulisan
yang diajarkan di sekolah-sekolah di ketiga provinsi tersebut.
Tonggak perubahan lainnya adalah aturan yang dikeluarkan
pada Kongres Basa Jawa III 15-21 Juli 2001 di Yogyakarta. Kongres ini
menghasilkan perubahan beberapa penyederhanaan penulisan bentuk-bentuk gabungan
(kata dasar + imbuhan).
Ada sedikit perbedaan dalam Cacarakan Sunda dimana aksara
“Nya” dituliskan dengan menggunakan aksara “Na” yang mendapat pasangan “Nya”. Sedangkan
Aksara “Da” dan “Tha” tidak digunakan dalam Cacarakan Sunda. Juga ada
penambahan aksara Vokal Mandiri “É” dan “Eu”, sandhangan “eu” dan “tolong”.
Integrasi Aksara Jawa Hanacaraka ke dalam Sistem Informasi
Komputer.
Usaha-usaha untuk mengintegrasikan aksara ini ke sistem
informasi elektronik telah dilakukan sejak 1983 oleh peneliti dari Universitas
Leiden (dipimpin Willem Van Molen). Integrasi ini diperlukan agar setiap
anggota aksara Jawa memiliki kode yang khas dan diakui di seluruh dunia.
Jeroen Hellingman mengajukan proposal untuk mendaftarkan
aksara ini ke Unicode pada pertengahan tahun 1993 dan Maret 1998.
Selanjutnya, Jason Glavy membuat “font” aksara Jawa yang diedarkan secara bebas
sejak 2002 dan mengajukan proposal pula ke Unicode. Di Indonesia Ermawan
Pratomo membuat font Hanacaraka pada tahun 2001,Teguh Budi Sayoga pada tahun
2004 telah membuat font aksara Jawa untuk Windows (disebut “Hanacaraka”)
berdasarkan ANSI. Matthew Arciniega membuat screen font untuk Mac pada tahun
1992 dan ia namakan “Surakarta”. Yang terbaru adalah yang digarap oleh Bayu
Kusuma Purwanto (2006), yang dapat diekspor ke dalam html.
Baru sejak awal 2005 dilakukan usaha bertahap yang nyata
untuk mengintegrasikan aksara Jawa ke dalam Unicode setelah Michael Everson membuat
suatu code table sementara untuk didaftarkan. Kelambatan ini terjadi karena
kurangnya dukungan dari masyarakat pengguna aksara ini. Aksara Jawa Hanacara
saat ini telah dirilis dalam Unicode versi 5.2 (tergabung dalam Amandemen 6)
yang keluar pada tanggal 1 Oktober 2009. Alokasi Memori Aksara Jawa (Javanese)
pada Unicode 5.2.0 adalah di alamat A980 sampai dengan A9DF.
Jejak Aksara Nusantara

KOMPAS, Sabtu, 24 Desember 2011 – Pertengahan Oktober, misi
kebudayaan China menggelar Pameran Seni Ukir Stempel dan Kaligrafi China di
Museum Nasional Jakarta. Saat yang sama, pihak museum juga memamerkan Lambang
dan Aksara Nusantara yang keberadaannya nyaris dilupakan orang.
Berbeda dengan China, Jepang, Korea, atau beberapa negara di wilayah Asia
lain, aksara Nusantara tergerus oleh aksara Latin yang dibawa penjelajah dunia
dari Barat. Padahal, sebelum aksara Latin dibakukan di Indonesia, beragam
aksara di Nusantara berkembang dan bertahan selama berabad-abad.
”Aksara Nusantara kini hanya dipelajari oleh ahli epigrafi, yaitu ilmu
mengenai tulisan pada batu, logam, dan bahan-bahan keras lain. Selebihnya,
aksara Nusantara menjadi bagian dari kurikulum muatan lokal di sekolah atau
menjadi penanda jalan di suatu daerah,” kata Intan Mardiana, Direktur
Permuseuman pada Direktorat Sejarah dan Purbakala Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, beberapa waktu lalu.
Museum Nasional memamerkan beragam jenis aksara yang pernah berkembang di
Indonesia. Aksara-aksara itu dituliskan dalam berbagai medium, seperti batu
(prasasti), lempengan logam, koin, baju, perisai, piring, dan mangkok.
Agus Arismunandar dari Departemen Arkeologi Universitas Indonesia
mengatakan, aksara adalah temuan manusia paling mutakhir dalam hal penciptaan
simbol dari bunyi-bunyian yang diucapkan manusia (bahasa). Dengan aksara,
segala pengetahuan manusia dapat didokumentasikan, diakumulasikan, dan
dimanfaatkan untuk mengembangkan kebudayaan.
Penelitian para ahli antropologi fisik mengungkap, manusia purba di
Indonesia, seperti Pithecanthropus sudah memiliki kemampuan bertutur. Namun,
sejak kapan manusia di bumi Nusantara mulai mengenal aksara dan bagaimana
proses perkembangannya?
Menurut arkeolog ahli epigrafi, Hasan Djafar, perkembangan aksara di dunia
berbeda-beda. Di Mesir, aksara berkembang sejak 2.000 tahun silam, demikian
juga China.
Di Indonesia, aksara baru dikenal abad ke-5 Masehi. Masuknya aksara ke
wilayah Nusantara merupakan bagian dari proses perubahan sosial budaya di
kawasan Asia Tenggara pada awal tarikh Masehi.
Awal Masehi, kawasan Asia Tenggara mulai menjalin hubungan pelayaran dan
perdagangan dengan India dan China. Beberapa daerah di sepanjang jalur ini
terlibat kontak budaya dengan pedagang dan pelaut, terutama dari India.
”Kontak kebudayaan ini menyebabkan penyerapan unsur-unsur kebudayaan India dalam
kebudayaan Nusantara, termasuk pemakaian bahasa Sanskerta dan aksara Palawa,”
kata Hasan. Unsur kebudayaan ”asing” ini kemudian diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat setempat.
Jejak aksara dari India ini bisa ditelusuri dari temuan yupa atau prasasti
berbentuk tiang batu dari masa Kerajaan Mulawarman di Kalimantan dan Kerajaan
Tarumanegara di Karawang, Jawa Barat. Prasasti kedua kerajaan itu diperkirakan
dari masa abad ke-5 Masehi.
Menurut Hasan, sebenarnya masyarakat di kedua kerajaan itu sudah memiliki
bahasa sendiri, tetapi mereka belum memiliki aksara. Oleh karena itu, untuk
membuat prasasti, mereka ”meminjam” bahasa Sanskerta dan aksara Palawa yang
pada masa itu sudah dikenal melalui kitab agama Hindu-Buddha.
Melalui aksara Palawa yang tertera dalam prasasti, para ahli epigrafi bisa
menyimpulkan bahwa kisah sejarah dari yupa Kerajaan Mulawarman berbeda dengan
yupa dari Kerajaan Tarumanegara.
Yupa Kerajaan Mulawarman lebih banyak berkisah tentang hal-hal menyangkut
keagamaan, seperti penyerahan 1.000 sapi sebagai korban kepada para brahmana.
Adapun yupa Tarumanegara lebih banyak berisi penetapan suatu daerah atau
pembangunan fisik yang dilakukan kerajaan. Kedua aksara di kerajaan ini
termasuk dalam kelompok aksara Palawa Awal.
Perkembangan aksara Palawa di Kalimantan terhenti setelah tidak ada lagi
kerajaan besar pasca-Mulawarman. Sedangkan aksara Palawa dari masa Kerajaan
Tarumanegara terus dikembangkan.
Pada abad ke-6 hingga ke-8 Masehi muncul varian baru yang dikembangkan dari
aksara Palawa Awal. Varian baru itu dikategorikan sebagai aksara Palawa Akhir.
Adaptasi dan inovasi menjadi aksara baru dilakukan di Kerajaan Tarumanegara,
kemudian menyebar ke arah timur, memasuki wilayah Jawa Tengah.
Pemakaian aksara Palawa Akhir ini bisa ditelusuri dari prasasti Tukmas
berangka tahun 578 Masehi dan prasasti Canggal 732 Masehi. Keduanya ditemukan
di Magelang, Jawa Tengah. Pemakaian aksara itu menyebar sampai ke Palembang,
Jambi, dan Lampung.
Proses adaptasi selanjutnya menghasilkan aksara Jawa Kuna yang mampu
bertahan sejak pertengahan abad ke-7 hingga masa Kerajaan Majapahit sekitar
abad ke-15. Pada rentang periode itu muncul aksara lain yang datang dari India,
yaitu aksara Nagari. Bentuk aksara Nagari berbeda dengan Palawa, yaitu
menggantung, sedangkan aksara Palawa berbentuk bulat.
Salah satu jejak aksara ini bisa ditemukan di Candi Kalasan, Jawa Tengah.
Sedangkan aksara Jawa Kuna berkembang sampai ke Jawa Barat. Sebelumnya, di
daerah itu masyarakat memiliki bahasa Sunda Buhun dengan aksara Kaganga
0 komentar:
Posting Komentar