Kakawin Ramayana
Dua lembar lontar
kakawin Ramayana yang tertua dan sekarang disimpan di Perpustakaan Nasional
R.I. Lontar ini berasal dari pegunungan Merapi-Merbabu, Jawa Tengah dari abad
ke-16 M.
Kakawin
Rāmāyaṇa (aksara Bali: , Jawa: ) adalah kakawin
(syair) berisi cerita Ramayana. Ditulis dalam bentuk tembang berbahasa Jawa
Kuna, diduga dibuat di Mataram Hindu pada masa pemerinthan Dyah Balitung
sekitar tahun 820-832 Saka atau sekitar tahun 870 M. kakawin ini disebut-sebut sebagai
adikakawin karena dianggap yang pertama, terpanjang, dan terindah gaya
bahasanya dari periode Hindu-Jawa. Menurut tradisi Bali, Kakawin Ramayana ini
dipercaya ditulis oleh seorang bernama Yogiswara. Hal ini ditolak oleh Prof.
Dr. R.M.Ng. Purbatjaraka. Menurutnya, Yogiswara memang tercantum pada baris
terakhir Ramayana versi Jawa ini, tetapi hal itu bukan merupakan identitas
penulis, tetapi kalimat penutup yang berbunnyi :
Sang
Yogiswara çista, sang sujana suddha menahira huwus matje sira
kalimat tersebut jika diterjemahkan
demikian:
Sang Yogi
(pendeta/begawan) semakin bertambah pandai, Para sujana (cendekia/bijak)
semakin bersih hatinya setelah membaca cerita ini.
Jadi, Yogiswara bukan
nama penulis Ramayana Jawa ini.
Syair dalam bentuk kakawin ini
adalah salah satu dari banyak versi mengenai kisah sang Rama dan Sita,
wiracarita agung yang versi awalnya digubah di India oleh Walmiki dalam bahasa
Sanskerta. Beberapa peneliti mengungkapkan, bahwa Kakawin Ramayana versi Jawa
ini ternyata tidak sepenuhnya mengacu langsung kepada Ramayana versi Walmiki,
akan tetapi mengacu ini merupakan transformasi dari kitab Rawanawadha
yang ditulis oleh pujangga India kuno bernama Bhattikawya. Hal ini disimpulkan
oleh Manomohan Ghosh, seorang peneliti sastra dari India yang menemukan
beberapa bait Ramayana Jawa yang sama dengan bait bait dalam Rawanawadha.
Dari segi alur cerita, Kekawin
Ramayana juga memiliki perbedaan dengan Ramayana Walmiki. Pada akhir cerita,
sekembalinya Rama dan Sita ke Ayodya, mereka berpisah kembali, jadi Rama dna
Sita tidak hidup bersama, demikian versi Walmiki. Sedang dalam versi Jawa, Rama
dan Sita hidup bersama di Ayodya.
Ringkasan
Prabu Dasaratha dari negeri Ayodya
memiliki empat putra; Rama, Bharata, Laksmana dan Satrughna. Maka suatu hari
seorang resi bernama Wiswamitra memohon bantuan Sri Paduka Dasaratha untuk
menolongnya membebaskan pertapaannya dari serangan para raksasa. Maka Rama dan
Laksamana berangkat.
Di pertapaan, Rama dan Laksmana
menghabisi semua raksasa dan kemudian mereka menuju negeri Mithila di mana
diadakan sebuah sayembara. Siapa menang dapat mendapat putri raja bernama Sita.
Para peserta disuruh merentangkan busur panah yang menyertai kelahiran Sita.
Tak seorangpun berhasil kecuali Rama, maka mereka pun menikah dan lalu kembali
ke Ayodya.
Di Ayodya Rama suatu hari akan
dipersiapkan dinobatkan sebagai raja, karena ia adalah putra sulung. Namun
Kaikeyi, salah seorang istri raja Dasaratha yang bukan ibu Rama berakta bahwa
sri baginda pernah berjanji bahwa Bharata lah yang akan menjadi raja. Maka
dengan berat hati raja Dasaratha mengabulkannya karena memang pernah berjanji
demikian. Kemudian Rama, Sita dan Laksmana pergi meninggalkan istana. Selang
beberapa lama, raja Dasaratha meninggal dunia dan Bharata mencari mereka. Ia
merasa tidak pantas menjadi raja dan meminta Rama untuk kembali. Tetapi Rama
menolak dan memberikan sandalnya (bahasa Sanskerta: pâduka) kepada
Bharata sebagai lambang kekuasaannya.
Relief Sita yang diculik.
Maka Rama, Sita dan Laksmana berada
di hutan Dandaka. Di sana ada seorang raksasi bernama Surpanakha yang jatuh
cinta kepada Laksmana dan ia menyamar menjadi wanita cantik. Tetapi Laksmana
tak berhasil dibujuknya dan malahan akhirnya ujung hidungnya terpotong.
Surpanakha marah dan mengadu kepada kakaknya sang Rahwana (Rawana) dan
membujuknya untuk menculik Sita dan memperistrinya. Akhirnya Rahwana menyuruh
Marica, seorang raksasa untuk menculik Sita. Lalu Marica bersiasat dan menyamar
menjadi seekor kijang emas yang elok. Sita tertarik dan meminta suaminya untuk
menangkapnya. Rama meninggalkan Sita bersama Laksmana dan pergi mengejar si
kijang emas. Si kijang emas sangat gesit dan tak bisa ditangkap, akhirnya Sri
Rama kesal dan memanahnya. Si kijang emas menjerit kesakitan berubah kembali
menjadi seorang raksasa dan mati. Sita yang berada di kejauhan mengira yang
menjerit adalah Rama dan menyuruh Laksamana mencarinya. Laksmana menolak tetapi
akhirnya mau setelah diperolok-olok dan dituduh Sita bahwa ia ingin
memilikinya. Akhirnya Sita ditinggal sendirian dan bisa diculik oleh Rahwana.
Teriakan Sita terdengar oleh burung Jatayu
yang pernah berkawan dengan prabu Dasaratha dan ia berusaha menolong Sita.
Tetapi Rahwana lebih kuat dan bisa mengalahkan Jatayu. Jatayu yang sekarat
masih bisa melapor kepada Rama dan Laksmana bahwa Sita dibawa ke Lengka,
kerajaan Rahwana.
Kemudian Rama dan Laksmana mencari
kerajaan ini. Di suatu daerah mereka berjumpa dengan kera-kera dan seorang raja
kera bernama Bali yang menculik istri kakaknya. Akhirnya Bali bisa dibunuh dan
istrinya dikembalikan ke Sugriwa dan Sugriwa bersedia membantu Rama. Akhirnya
dengan pertolongan bala tentara kera yang dipimpin Hanuman, mereka berhasil
membunuh Rahwana dan membebaskan Sita. Sita lalu diboyong kembali ke Ayodya dan
Rama dinobatkan menjadi raja.
Contoh teks
Oleh para pakar dan sastrawan,
kakawin Ramayana dianggap sebuah syair yang sangat indah dalam bahasa Jawa Kuna
seperti sudah disinggung di atas. Di bawah disajikan beberapa cuplikan dari
teks ini beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Kiasan
Jawa Kuna
|
Terjemahan
|
Kadi mégha manghudanaken,
|
Seolah-olah awan yang menghujani,
|
pad.anira yar wéhaken ikang dâna,
|
begitu persamaannya apabila memberi sumbangan,
|
dînândha krepan.a ya winéh,
|
orang hina-dina dan cacat juga diberi,
|
nguni-nguni d.ang hyang d.ang âcârya.
|
apalagi para pandita dan orang suci.
|
Aliterasi
Jawa Kuna
|
Terjemahan
|
Molah wwaining tasik ghûrnnitatara gumuruh dényangin
sang Hanûmân,
|
Air laut berombang-ambing dengan dahsyat dan
bergemuruh karena angin sang Hanuman.
|
kagyat sésînikang sâgara kadi ginugah nâga kolâh
alâwû,
|
Terkejutlah seluruh isi laut, seakan-akan naga
dikocok dan menjerit terbangun.
|
lunghâ tang bâyu madres kayu-kayu ya katûb
kampitékang Mahéndra,
|
Berlalulah angin ribut dan pohon-pohon kayu jatuh
bertumbangan, seakan-akan gunung Mahendra
bergetar.
|
sakwéhning wânarâ nghér kaburu kabarasat sangshayé
shatru shakti.
|
Semua kera yang berdiam di sana terbirit-birit lari
ketakutan seakan-akan dikejar oleh musuh yang sakti.
|
Lukisan alam
Hanuman dalam bentuk boneka wayang kulit dari Yogyakarta.
(Bhramara Wilasita)
Jawa Kuna
|
Terjemahan
|
Jahnî yâhning talaga kadi langit,
|
Air telaga jernih bagaikan langit,
|
mambang tang pâs wulan upamanikâ,
|
Seekor kura-kura yang mengambang seolah-olah bulan,
|
wintang tulya ng kusuma ya sumawur,
|
Bintang-bintangnya adalah bunga-bunga yang tersebar,
|
lumrâ pwêkang sari kadi jalada.
|
Menyebarlah sari-sarinya, seakan-akan awan.
|
Hubungan
dengan teks-teks lain
Kakawin Ramayana setelah diteliti oleh para pakar
ternyata secara detail tidak mirip dengan versi-versi Ramayana di Nusantara
lainnya, seperti Hikayat Sri Rama dalam bahasa Melayu, Serat Rama Keling dalam bahasa
Jawa Baru dan juga relief-relief Ramayana yang terdapatkan di Candi Prambanan.
Setelah diteliti ternyata sebagian besar kakawin
Ramayana berdasarkan sebuah syair dalam bahasa Sanskerta dari India yang
berjudul Rāvaṇavadha yang ditulis oleh pujangga bernama Bhaṭṭikāvya
dari abad ke-6 sampai 7.
Dalam sastra Jawa Baru, kakawin Ramayana digubah
ulang oleh kyai Yasadipura menjadi Serat Rama.