Ringkasan
isi Kitab Adiparwa
Adiparwa
dituturkan seperti sebuah narasi. Penuturan isi kitab tersebut bermula ketika
Sang Ugrasrawa mendatangi Bagawan Sonaka yang sedang melakukan upacara di hutan
Nemisa[1].
Sang Ugrasrawa menceritakan kepada Bagawan Sonaka tentang keberadaan sebuah
kumpulan kitab yang disebut Astadasaparwa, pokok ceritanya adalah kisah
perselisihan Pandawa dan Korawa, keturunan Sang Bharata. Dari penuturan Sang
Ugrasrawa, mengalirlah kisah besar keluarga Bharata tersebut (Mahābhārata).
a.
Mangkatnya Raja Parikesit
Dikisahkan, ada seorang Raja bernama
Parikesit, putera Sang Abimanyu, yang bertahta di Hastinapura. Ia merupakan
keturunan Sang Kuru, maka disebut juga Kuruwangsa[1]. Pada suatu
hari, beliau berburu kijang ke tengah hutan. Kijang diikutinya sampai
kehilangan jejak. Di hutan beliau berpapasan dengan seorang pendeta bernama
Bagawan Samiti. Sang Raja menanyakan kemana kijang buruannya pergi, namun sang
pendeta membisu (bertapa dengan bisu). Hal tersebut membuat Raja Parikesit
marah. Ia mengambil bangkai ular, kemudian mengalungkannya di leher sang
pendeta.
Putera sang pendeta yang bernama
Srenggi, mengetahui hal tersebut dari penjelasan Sang Kresa, kemudian ia
menjadi marah. Ia mengutuk Sang Raja, agar beliau wafat karena digigit ular,
tujuh hari setelah kutukan diucapkan. Setelah Sang Raja menerima kutukan
tersebut, maka ia berlindung di sebuah menara yang dijaga dan diawasi dengan
ketat oleh prajurit dan para patihnya. Di sekeliling menara juga telah siap
para tabib yang ahli menangani bisa ular. Pada hari ketujuh, yaitu hari yang
diramalkan menjadi hari kematiannya, seekor naga yang bernama Taksaka menyamar
menjadi ulat pada jambu yang dihaturkan kepada Sang Raja. Akhirnya Sang Raja
mangkat setelah digigit Naga Taksaka yang menyamar menjadi ulat dalam jambu[1].
b.
Raja Janamejaya mengadakan upacara korban ular
Setelah Maharaja Parikesit mangkat,
puteranya yang bernama Janamejaya menggantikan tahtanya. Pada waktu itu beliau
masih kanak-kanak, namun sudah memiliki kesaktian, kepandaian, dan wajah yang
tampan. Raja Janamejaya dinikahkan dengan puteri dari Kerajaan Kasi, bernama
Bhamustiman. Raja Janamejaya memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga
dunia tenteram, setiap musuh pasti dapat ditaklukkannya. Ketika Sang Raja
berhasil menaklukkan desa Taksila, Sang Uttangka datang menghadap Sang Raja dan
mengatakan niatnya yang benci terhadap Naga Taksaka, sekaligus menceritakan
bahwa penyebab kematian ayahnya adalah karena ulah Naga Taksaka.
Sang Raja meneliti kebenaran cerita
tersebut dan para patihnya membenarkan cerita Sang Uttangka. Sang Raja
dianjurkan untuk mengadakan upacara pengorbanan ular untuk membalas Naga
Taksaka. Singkat cerita, beliau menyiapakan segala kebutuhan upacara dan
mengundang para pendeta dan ahli mantra untuk membantu proses upacara. Melihat
Sang Raja mengadakan upacara tersebut, Naga Taksaka menjadi gelisah. Kemudian
ia mengutus Sang Astika untuk menggagalkan upacara Sang Raja. Sang Astika
menerima tugas tersebut lalu pergi ke lokasi upacara. Sang Astika
menyembah-nyembah Sang Raja dan memohon agar Sang Raja membatalkan upacaranya.
Sang Raja yang memiliki rasa belas kasihan terhadap Sang Astika, membatalkan
upacaranya. Akhirnya, Sang Astika mohon diri untuk kembali ke Nagaloka. Naga
Taksaka pun selamat dari upacara tersebut.
c.
Wesampayana menuturkan Mahabharata
Maharaja Janamejaya yang sedih
karena upacaranya tidak sempurna, meminta Bagawan Byasa untuk menceritakan
kisah leluhurnya, sekaligus kisah Pandawa dan Korawa yang bertempur di Kurukshetra.
Karena Bagawan Byasa sibuk dengan urusan lain, maka Bagawan Wesampayana disuruh
mewakilinya. Ia adalah murid Bagawan Byasa, penulis kisah besar keluarga Bharata
atau Mahābhārata. Sesuai keinginan Raja Janamejaya, Bagawan Wesampayana
menuturkan sebuah kisah kepada Sang Raja, yaitu kisah sebelum sang raja lahir,
kisah Pandawa dan Korawa, kisah perang di Kurukshetra, dan kisah silsilah
leluhur sang raja. Wesampayana mula-mula menuturkan kisah leluhur Maharaja
Janamejaya (Sakuntala, Duswanta, Bharata, Yayati, Puru, Kuru), kemudian kisah
buyutnya, yaitu Pandawa dan Korawa.
d.
Garis keturunan Maharaja Yayat
Leluhur Maharaja Janamejaya yang
menurunkan pendiri Dinasti Puru dan Yadu bernama Maharaja Yayati, beliau
memiliki dua permaisuri, namanya Dewayani dan Sarmishta. Dewayani melahirkan Yadu
dan Turwasu, sedangkan Sarmishta melahirkan Anu, Druhyu, dan Puru. Keturunan
Sang Yadu disebut Yadawa sedangkan keturunan Sang Puru disebut Paurawa.[1]
Dalam silsilah generasi Paurawa,
lahirlah Maharaja Dushyanta, menikahi Sakuntala, yang kemudian menurunkan Sang Bharata.
Sang Bharata menaklukkan dunia dan daerah jajahannya kemudian dikenal sebagai Bharatawarsha[1].
Sang Bharata menurunkan Dinasti Bharata. Dalam Dinasti Bharata lahirlah Sang Kuru,
yang menyucikan sebuah tempat yang disebut Kurukshetra, kemdian menurunkan
Kuruwangsa, atau Dinasti Kuru[1].
Setelah beberapa generasi, lahirlah
Prabu Santanu, yang mewarisi tahta Hastinapura. Prabu Santanu memiliki dua
istri, yaitu Dewi Gangga dan Satyawati. Dewi Gangga melahirkan Bhisma,
sedangkan Satyawati melahirkan Chitrāngada dan Wicitrawirya. Karena Chitrāngada
wafat di usia muda dan Bhisma bersumpah tidak akan mewarisi tahta, maka
Wicitrawirya melanjutkan pemerintahan ayahnya. Wicitrawirya memiliki dua
permaisuri, yaitu Ambika dan Ambalika. Dari Ambika lahirlah Drestarastra dan
dari Ambalika lahirlah Pandu. Drestarastra memiliki seratus putera yang disebut
Korawaçata (seratus Korawa) sedangkan Pandu memiliki lima putera yang disebut
Panca Pandawa (lima putera Pandu).
e.
Kisah Prabu Santanu dan keturunannya
Prabu
Santanu jatuh cinta kepada Satyawati, anak seorang nelayan (dilukis oleh Raja
Ravi Varma).
Tersebutlah seorang Raja bernama Pratipa,
beliau merupakan salah satu keturunan Sang Kuru atau Kuruwangsa, bertahta di Hastinapura.
Raja Pratipa memiliki permaisuri bernama Sunandha dari Kerajaan Siwi, yang
melahirkan tiga putera. Di antara ketiga putera tersebut, Santanu dinobatkan
menjadi Raja. Raja Santanu menikahi Dewi Gangga, kemudian berputera 8 orang.
Tujuh puteranya yang lain ditenggelamkan ke sungai oleh istrinya sendiri,
sedangkan puteranya yang terakhir berhasil selamat karena perbuatan istrinya
dicegah oleh Sang Raja. Puteranya tersebut bernama Dewabrata, namun di kemudian
hari bernama Bhisma. Raja Santanu menikah sekali lagi dengan seorang puteri
nelayan bernama Satyawati. Satyawati melahirkan 2 putera, bernama Chitrāngada
dan Wicitrawirya.
Chitrāngada mewarisi tahta ayahnya.
Namun karena ia gugur di usia muda pada suatu pertempuran melawan seorang Raja Gandharva,
pemerintahannya digantikan oleh adiknya, Wicitrawirya[1].
Wicitrawirya menikahi Ambika dan Ambalika dari Kerajaan Kasi. Tak lama setelah
pernikahannya, Wicitrawirya wafat. Untuk memperoleh keturunan, kedua janda
Wicitrawirya melangsungkan upacara yang dipimpin oleh Bagawan Byasa. Ambika
melahirkan Drestarastra yang buta sedangkan Ambalika melahirkan Pandu yang
pucat. Atas anugerah Bagawan Byasa, seorang pelayan yang turut serta dalam
upacara tersebut melahirkan seorang putera, bernama Widura yang sedikit pincang[1].
Drestarastra menikahi Gandari kemudian memiliki seratus putera yang disebut Korawa.
Pandu menikahi Kunti dan Madri. Kunti melahirkan Yudistira, Bhima, dan Arjuna.
Madri melahirkan Nakula dan Sadewa. Keturunan Pandu tersebut disebut Pandawa.
f.
Kisah masa kecil Pandawa dan Korawa
Pandawa dan Korawa hidup
bersama-sama di istana Hastinapura. Bagawan Drona mendidik mereka semasa
kanak-kanak, bersama dengan puteranya yang bernama Aswatama. Selain itu mereka
diasuh pula oleh Bhisma dan Bagawan Kripa. Setelah Pandu mangkat, kakaknya yang
bernama Drestarastra melanjutkan pemerintahan. Drestarastra melihat talenta
para Pandawa dan hendak mencalonkan Yudistira sebagai Raja, namun hal tersebut
justru menimbulkan sikap iri hati dalam diri Duryodana, salah satu Korawa.
Tingkah laku Bima yang tanpa sengaja merugikan para Korawa juga sering membuat
Duryodana dan adik-adiknya kesal.
g.
Terbakarnya rumah damar
Suatu hari Duryodana berpikir ia
bersama adiknya mustahil untuk dapat meneruskan tahta Dinasti Kuru apabila
sepupunya masih ada. Mereka semua (Pandawa lima dan sepupu-sepupunya atau yang
dikenal juga sebagai Korawa) tinggal bersama dalam suatu kerajaan yang
beribukota di Hastinapura. Akhirnya berbagai niat jahat muncul dalam benaknya
untuk menyingkirkan Pandawa lima beserta ibunya.
Drestarastra yang mencintai
keponakannya secara berlebihan mengangkat Yudistira sebagai putra mahkota
tetapi ia langsung menyesali perbuatannya yang terlalu terburu-buru sehingga ia
tidak memikirkan perasaan anaknya. Hal ini menyebabkan Duryodana iri hati
dengan Yudistira, ia mencoba untuk membunuh pandawa lima beserta ibu mereka
yang bernama Kunti dengan cara menyuruh mereka berlibur ke tempat yang bernama
Ekacakra. Di sana terdapat bangunan yang megah, yang telah disiapkan Duryodana
untuk mereka berlibur dan akan membakar bagunan itu di tengah malam pada saat
pandawa lima sedang terlelap tidur. Segala sesuatunya yang sudah direncanakan
Duryodana dibocorkan oleh Widura yang merupakan paman dari Pandawa lima.
Sebelum itu juga Yudistira juga telah diingatkan oleh seorang petapa yang
datang ke dirinya bahwa akan ada bencana yang menimpannya oleh karena itu
Yudistira pun sudah berwaspada terhadap segala kemungkinan. Untuk pertama
kalinya Yudistira lolos dalam perangkap Duryodana dan melarikan diri ke hutan
rimba.
h.
Pandawa mendapatkan Dropadi
Pada suatu hari, Pandawa mengikuti
sayembara yang diselenggarakan Raja Drupada di Kerajaan Panchala. Sayembara
tersebut memperebutkan Dewi Dropadi. Banyak ksatria di penjuru Bharatawarsha
turut menghadiri. Para Pandawa menyamar sebagai seorang Brāhmana. Sebuah
sasaran diletakkan di tengah-tengah arena, dan siapa yang berhasil memanah
sasaran tersebut dengan tepat, maka ialah yang berhasil mendapatkan Dropadi.
Satu-persatu ksatria maju, namun tidak ada satu pun yang berhasil memanah
dengan tepat. Ketika Karna dari Kerajaan Anga turut serta, ia berhasil memanah
sasaran dengan baik. Namun Dropadi menolak untuk menikahi Karna karena karna
anak seorang kusir yang tentu lebih rendah kastanya. Karna kecewa tetapi juga
kesal terhadap Dropadi.
Para Pandawa yang diwakili oleh Arjuna
turut serta. Arjuna berpakaian seperti Brāhmana. Ketika ia tampil ke muka, ia
berhasil memanah sasaran dengan baik, maka Dropadi berhak menjadi miliknya.
Namun hal tersebut menimbulkan kericuhan karena seorang Brāhmana tidak pantas
untuk mengikuti sayembara yang ditujukan kepada golongan ksatria. Arjuna dan Bima
pun berkelahi dengan para ksatria di sana, sementara Yudistira, Nakula dan Sadewa
melarikan Dropadi ke rumah mereka. Sesampainya di rumah, Pandawa berseru,
"Ibu, kami datang membawa hasil meminta-minta". Kunti, ibu para
Pandawa, tidak melihat apa yang dibawa oleh anak-anaknya karena sibuk dan
berkata, "Bagi dengan rata apa yang kalian peroleh". Ketika ia
menoleh, alangkah terkejutnya ia karena anak-anaknya tidak saja membawa hasil
meminta-minta, namun juga seorang wanita. Kunti yang tidak mau berdusta,
membuat anak-anaknya untuk berbagai istri[1].
i.
Arjuna mengasingkan diri ke hutan
Para Pandawa sepakat untuk membagi Dropadi
sebagai istri. Mereka juga berjanji tidak akan mengganggu Dropadi ketika sedang
bermesraan di kamar bersama dengan salah satu dari Pandawa. Hukuman dari
perbuatan yang mengganggu adalah pembuangan selama 12 tahun.
Pada suatu hari, ketika Pandawa
sedang memerintah kerajaannya di Indraprastha, seorang pendeta masuk ke istana
dan melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh para rakshasa. Arjuna yang merasa
memiliki kewajiban untuk menolongnya, bergegas mengambil senjatanya. Namun
senjata tersebut disimpan di sebuah kamar dimana Yudistira dan Dropadi sedang
menikmati malam mereka. Demi kewajibannya, Arjuna rela masuk kamar mengambil
senjata, tidak memedulikan Yudistira dan Dropadi yang sedang bermesraan di
kamar. Atas perbuatan tersebut, Arjuna dihukum untuk menjalani pembuangan selama
12 tahun. Arjuna menerima hukuman tersebut dengan ikhlas.
Arjuna menghabiskan masa
pengasingannya dengan menjelajahi penjuru Bharatawarsha atau daratan India Kuno.
Selama masa pengasingannya, Arjuna memiliki tiga istri lagi. Mereka adalah: Subadra
(adik Sri Kresna), Ulupi, dan Citrangada. Dari hubungannya dengan Subadra
anaknya bernama Abimanyu. Dengan Ulupi anaknya bernama Irawan. Dengan Citrangada
anaknya bernama Babruwahana.
j.
Kisah lain dalam Kitab Adiparwa
Selain kisah Pandawa dan Korawa,
Sang Ugrasrawa juga menuturkan kisah lain kepada Bagawan Sonaka, yang berbentuk
cerita bingkai, sehingga alur ceritanya campuran, tidak mengalir ke depan
melainkan meloncat-loncat[1].
k.
Kisah Bagawan Dhomya menguji tiga muridnya
Dikisahkan seorang Brāhmana bernama
Bagawan Dhomya, tinggal di Ayodhya. Ia memiliki 3 murid, bernama: Sang
Utamanyu, Sang Arunika, dan Sang Weda. Ketiganya akan diuji kesetiaannya oleh
Sang Guru. Sang Arunika disuruh bersawah. Dengan berhati-hati Sang Arunika
merawat biji padi yang ditanamnya. Ketika biji-bijinya sedang tumbuh, datanglah
hujan membawa air bah yang kemudian merusak pematang sawahnya. Ia khawatir
kalau air tersebut akan merusak tanamannya, maka ia perbaiki pematangnya untuk
menahan air. Berkali-kali usahanya gagal dan pematangnya jebol, maka ia
merebahkan dirinya sebagai pengganti pematang yang jebol untuk menahan air.
Karena kesetiannya tersebut, Sang Arunika diberikan anugerah kesaktian oleh
Bagawan Dhomya.
Sementara itu, Sang Utamanyu disuruh
mengembala sapi. Sang Utamanyu tidak diperbolehkan untuk meminta-minta air
kalau ia sedang haus saat mengembala sapi, maka ia menjilat susu sapi yang
digembalanya. Hal tersebut juga ditentang oleh Sang Guru, maka Sang Utamanyu
menghisap getah daun “waduri” untuk menghilangkan dahaga. Hal tersebut
mengakibatkan matanya buta. Ia tidak tahu jalan sehingga terperosok ke dalam
sumur kering. Sampai sore, Sang Utamanyu tidak juga kembali pulang, gurunya
menjadi cemas. Ketika dicari, didapatinya Sang Utamanyu berada dalam sebuah
sumur. Bagawan Dhomya kemudian mendengarkan cerita Sang Utamanyu. Karena kesetiannya
terhadap kewajiban, Sang Utamanyu diberikan mantra sakti yang mampu
menyembuhkan penyakit oleh Bagawan Dhomya.
Sementara itu, Sang Weda disuruh
tinggal di dapur untuk menyediakan hidangan yang terbaik buat gurunya. Sang
Weda selalu menuruti perintah gurunya, meski yang buruk sekalipun. Segala
perintah gurunya dikerjakan dengan baik. Maka dari itu, Sang Weda dianugerahi
segala macam ilmu pengetahuan, mantra Veda, dan kecerdasan.
l.
Kisah Sang Winata dan Sang Kadru
Dikisahkan terdapat seorang Maharsi
bernama Bagawan Kasyapa, putera bagawan Marici, cucu Dewa Brahma. Ia diberi
oleh Bagawan daksa empat belas puteri. Keempat belas puteri tersebut bernama:
Aditi, Diti, Danu, Aristi, Anayusa, Kasa, Surabhi, Winata, Kadru, Ira, Parwa,
Mregi, Krodhawasa, Tamra. Di antara empat belas puteri tersebut, Sang Winata
dan Kadru tidak memiliki anak. Mereka berdua kemudian memohon belas kasihan
Bagawan Kasyapa. Sang Kadru memohon seribu anak sedangkan Sang Winata hanya
memohon dua anak. Kemudian Bagawan Kasyapa memberikan Sang Kadru seribu butir telur
sedangkan Sang Winata diberikan dua butir telur. Kedua puteri tersebut kemudian
merawat telur masing-masing dengan baik.
Singkat cerita, seribu butir telur
milik Sang Kadru menetas, dan lahirlah para Naga. Yang terkemuka adalah Sang Anantabhoga,
Sang Wasuki, dan Sang Taksaka. Sementara telur Sang Kadru sudah menetas
semuanya, telur Sang Winata belum menetas. Karena tidak sabar, maka telurnya
dipecahkan. Ketika pecah, terlihatlah seorang anak yang baru setengah jadi,
bagian tubuh ke atas lengkap sedangkan dari pinggang ke bawah tidak ada. Sang
anak marah karena ditetaskan sebelum waktunya. Anak tersebut kemudian mengutuk
ibunya supaya diperbudak oleh Sang Kadru berlebih-lebihan. Kelak, saudaranya
yang akan menetas akan menyelamatkan ibunya dari perbudakan. Anak tersebut
kemudian diberi nama Sang Aruna, karena tidak memiliki kaki dan paha. Sang
Aruna menjadi sais (kuir) kereta Dewa Surya[1].
m.
Kisah pemutaran Mandaragiri
Dikisahkan, pada zaman dahulu kala,
para Dewa, detya, dan rakshasa mengadakan rapat untuk mencari tirta amerta (air
suci). Sang Hyang Nārāyana (Wisnu) mengatakan bahwa tirta tersebut berada di
dasar laut Ksira. Cara mendapatkannya adalah dengan mengaduk lautan tersebut.
Para Dewa, detya, dan rakshasa kemudian menuju laut Ksira. Untuk mengaduknya, Naga
Wasuki mencabut gunung Mandara (Mandaragiri) di pulau Sangka sebagai tongkat
pengaduk. Gunung tersebut dibawa ke tengah lautan. Seekor kura-kura (Kurma)
besar menjadi penyangga/dasar gunung tersebut. Sang Naga melilit gunung
tersebut, kemudian para Dewa memegang ekornya, sedangkan rakshasa dan detya
memegang kepalanya. Dewa Indra berdiri di puncaknya agar gunung tidak melambung
ke atas.
Beberapa lama setelah gunung
diputar, keluarlah Ardhachandra, Dewi Sri, Dewi Lakshmi, kuda Uccaihsrawa, dan Kastubhamani.
Semuanya berada di pihak para Dewa. kemudian, munculah Dhanwantari membawa
kendi tempat tirta amerta. Para detya ingin agar tirta tersebut menjadi milik
mereka sebab sejak awal tidak pernah dapat bagian. Tirta amerta pun menjadi
milik mereka. Para Dewa memikirkan cara untuk merebut tirta tersebut. akhirnya
Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang wanita cantik, kemudian mendekati
para rakshasa dan detya. Para rakshasa-daitya yang melihatnya menjadi
terpesona, dan menyerahkan kendi berisi tirta tersebut. Wanita cantik itu
kemudian pergi sambil membawa tirta amerta dan berubah kembali menjadi Dewa
Wisnu.
Para detya yang melihatnya menjadi
marah. Tak lama kemudian terjadilah pertempuran antara para Dewa dan
rakshasa-detya. Kemudian Dewa Wisnu teringat dengan senjata chakra-nya. Senjata
chakra kemudian turun dari langit dan menyambar-nyambar para rakshasa-detya.
Banyak dari mereka yang lari terbirit-birit karena luka-luka. Akhirnya ada yang
menceburkan diri ke laut dan masuk ke dalam tanah. Para Dewa akhirnya berhasil
membawa tirta amerta ke surga.
n.
Kisah Sang Garuda dan para Naga
Lukisan
Garuda karya I Made Tlaga, seniman Bali, abad ke-19. Sekarang lukisan ini
disimpan di Universitas Leiden.
Dikisahkan, pada suatu hari Sang
Winata dan Sang Kadru, istri Bagawan Kasyapa, mendengar kabar tentang
keberadaan seekor kuda bernama Uccaihsrawa, hasil pemutaran Gunung Mandara atau
Mandaragiri. Sang Winata mengatakan bahwa warna kuda tersebut putih semua,
sedangkan Sang Kadru mengatakan bahwa tubuh kuda tersebut berwarna putih
sedangkan ekornya saja yang hitam. Karena berbeda pendapat, mereka berdua
bertaruh, siapa yang tebakannya salah akan menjadi budak. Mereka berencana
untuk menyaksikan warna kuda itu besok sekaligus menentukan siapa yang salah.
Sang Kadru menceritakan masalah
taruhan tersebut kepada anak-anaknya. Anak-anaknya mengatakan bahwa ibunya
sudah tentu akan kalah, karena warna kuda tersebut putih belaka. Sang Kadru pun
cemas karena merasa kalah taruhan, maka dari itu ia mengutus anak-anaknya untuk
memercikkan bisa ke ekor kuda tersebut supaya warnanya menjadi hitam.
Anak-anaknya menolak untuk melaksanakannya karena merasa perbuatan tersebut
tidak pantas. Sang Kadru yang marah mengutuk anak-anaknya supaya mati ditelan
api pada saat upacara pengorbanan ular yang diselenggarakan Raja Janamejaya.
Mau tak mau, akhirnya anak-anaknya melaksanakan perintah ibunya. Mereka pun
memercikkan bisa ular ke ekor kuda Uccaihsrawa sehingga warnanya yang putih
kemudian menjadi hitam. Akhirnya Sang Kadru memenangkan taruhan sehingga Sang
Winata harus menjadi budaknya.
Sementara itu, telur yang diasuh
Sang Winata menetas lalu munculah burung gagah perkasa yang kemudian diberi
nama Garuda. Sang Garuda mencari-cari kemana ibunya. Pada akhirnya ia mendapati
ibunya diperbudak Sang Kadru untuk mengasuh para naga. Sang Garuda membantu
ibunya mengasuh para naga, namun para naga sangat lincah berlari kesana-kemari.
Sang Garuda kepayahan, lalu menanyakan para naga, apa yang bisa dilakukan untuk
menebus perbudakan ibunya. Para naga menjawab, kalau Sang Garuda mampu membawa
tirta amerta ke hadapan para naga, maka ibunya akan dibebaskan. Sang Garuda
menyanggupi permohonan tersebut.
Singkat cerita, Sang Garuda berhasil
menghadapi berbagai rintangan dan sampai di tempat tirta amerta. Pada saat Sang
Garuda ingin mengambil tirta tersebut, Dewa Wisnu datang dan bersabda, “Sang
Garuda, jika engkau ingin mendapatkan tirta tersebut, mintalah kepadaku, nanti
pasti aku berikan”. Sang Garuda menjawab, “Tidak selayaknya jika saya meminta
kepada anda sebab anda lebih sakti daripada saya. Karena tirta amerta anda
tidak mengenal tua dan mati, sedangkan saya tidak. Untuk itu, berikanlah kepada
saya anugerah yang lain”. Dewa Wisnu berkata, “Jika demikian, aku memintamu
untuk menjadi kendaraanku, sekaligus menjadi lambang panji-panjiku”. Sang
Garuda setuju dengan permohonan tersebut sehingga akhirnya menjadi kendaraan
Dewa Wisnu. Kemudian Sang Garuda terbang membawa tirta, namun Dewa Indra tidak
setuju kalau tirta tersebut diberikan kepada para naga. Sang Garuda mengatakan
bahwa tirta tersebut akan diberikan kalau para naga sudah selesai mandi.
Sampailah Sang Garuda ke tempat
tinggal para naga. Para naga girang ingin segera meminum amerta, namun Sang
Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut boleh diminum jika para naga mandi
terlebih dahulu. Para naga pun mandi sesuai dengan syarat yang diberikan,
tetapi setelah selesai mandi, tirta amerta sudah tidak ada lagi karena dibawa
kabur oleh Dewa Indra. Para naga kecewa dan hanya mendapati beberapa percikan
tirta amerta tertinggal pada daun ilalang. Para naga pun menjilati daun
tersebut sehingga lidahnya tersayat dan terbelah. Daun ilalang pun menjadi suci
karena mendapat tirta amerta. Sementara itu Sang Garuda terbang ke surga karena
merasa sudah menebus perbudakan ibunya.
o.
Bahasa dan sejarah
Adiparwa
versi Jawa Kuna yang dicetak ulang oleh Phalgunadi dan diterjemahkan dalam
bahasa Inggris pada tahun 1990.
Sebagaimana kisah induknya, Mahabharata,
kitab Adiparwa ini semula dituliskan dalam bahasa Sanskerta dan dianggap
sebagai cerita suci bagi pemeluk agama Hindu. Tidak tercatat kapan persisnya
kisah ini masuk ke Indonesia. Akan tetapi, sebagaimana disebutkan dalam bagian
pendahuluan Adiparwa versi Jawa Kuna, kitab ini telah disalin ke dalam bahasa
Jawa kuna atau juga dikenal sebagai bahasa Kawi pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa
Teguh (kerajaan Kediri, tahun 991-1016) (Zoetmulder, 1994).
p.
Pengaruh dalam budaya
Kitab Adiparwa yang diterjemahkan
dari Bahasa Sanskerta ke Bahasa Jawa Kuno atau Bahasa Kawi, banyak digubah
menjadi cerita pewayangan[2]. Dalam kitab Adiparwa yang
diterjemahkan dari bahasa Sanskerta mungkin terdapat perbedaan dengan lakon pewayangannya,
yang kadang-kadang besar sekali, sehingga memberi kesan bahwa segala sesuatunya
terjadi di Jawa.[2] Hal ini disebabkan oleh kecerdasan para pujangga
masa lampau yang mampu memindah alam pikiran para pembaca atau pendengarnya
dari suasana India menjadi Jawa Asli[2]. Jika Hastinapura sebenarnya
terdapat di India, maka nama-nama seperti Jonggringsalaka, Pringgandani,
Indrakila, Gua Kiskenda, sampai Gunung Mahameru dibawa ke tanah Jawa[2].
Begitu pula dengan tokoh Pancawala
(Pancakumara). Jika dalam versi aslinya mereka terdiri dari lima orang, maka
dalam pewayangan mereka dikatakan hanya satu orang saja. Menurut Mulyono dalam
artikelnya berjudul “Dewi Dropadi:Antara kitab Mahabharata dan Pewayangan
Jawa”, ia menyatakan bahwa terjadinya perbedaan cerita tentang Pancawala antara
kitab Mahabharata dengan cerita dalam pewayangan Jawa karena pengaruh
perkembangan agama Islam di tanah Jawa[3]. Hal serupa juga terjadi pada kisah
Dewi Dropadi dalam kitab Adiparwa. Jika dalam Adiparwa ia bersuami lima orang,
maka dalam pewayangan Jawa (yang sudah terkena pengaruh Islam) Dropadi hanya
bersuami satu orang saja. Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh
memiliki suami lebih dari satu. Maka dari itu, cerita Dewi Dropadi dalam kitab Mahabharata
versi asli yang bercorak Hindu menyalahi hukum Islam. Untuk mengantisipasinya,
para pujangga ataupun seniman Islam mengubah cerita tersebut agar sesuai dengan
ajaran Islam[3]. Pancawala yang sebenarnya merupakan lima putera Pandawa pun
diubah menjadi seorang tokoh yang merupakan putera Yudistira saja[3].