Gambuh, Filosofi Dibalik Tembang Macapat
Waktu kecil, waktu saya
mengenyam pendidikan Sekolah Dasar dulu, ada sebuah mata pelajaran yaitu Bahasa
Jawa. Masih ingat bagaimana saya kesusahan untuk belajar menulis jawa, ha na ca
ra ka sampai ketika harus belajar nembang macapat. Waktu itu saya hanya bisa 2
macam tembang yaitu pocung dan Gambuh, itupun tidak mengerti sedikitpun makna
yang terkandung didalamnya. Mungkin karena waktu itu masih anak-anak, jadi ya
tidak begitu paham mengenai makna tembang macapat yang harus dinyanyikan saat
pelajaran bahasa jawa saat itu. Sekarang setelah begitu lama saya baru tahu
ternyata tembang-tembang macapat itu memiliki makna mengenai etika hidup
manusia.
Tembang macapat sendiri
merupakan tembang klasik asli Jawa, dan pertama kali muncul adalah pada awal
jaman para Wali Songo, dimana para wali pada saat itu mencoba berdakwah dan
mengenalkan Islam melalui budaya. Berdasarkan jenis dan urutannya tembang
macapat ini sebenarnya menggambarkan perjalanan hidup manusia, tahap-tahap
kehidupan manusia dari mulai alam ruh sampai dengan meninggalnya. Dimulai dari
Maskumambang, Mijil, Sinom, Kinanthi, Asmaradhana, Gambuh, Dhandanggula,
Pangkur, Durma, Megatruh, Pocung. Dari kesebelas tembang tersebut yang paling
sering dinyanyikan di kelas adalah tembang Gambuh. Kurang lebih liriknya
seperti ini :
Sekar gambuh ping catur,
kang cinatur polah kang
kalantur,
tanpa tutur katulo-tulo katali.
Kadaluwarso katutur,
Kapatuh pan dadi awon.
Liriknya sangat sederhana, hanya
5 baris akan tetapi sarat makna. Dari lirik tembang tersebut kita bisa
mengambil sebuah ilmu, dimana manusia seharusnya agar saling menasihati dan
mengingatkan. Yaitu menasehati dalam hal kebaikan. Agar apabila ada kesalahan
kita bisa memperbaiki dan kembali kepada jalan yang benar. Tanpa tutur
katulo-tulo katali, ini berarti bahwa tanpa adanya fungsi kontrol, tanpa adanya
nasehat maka akan berdampak buruk, baik untuk diri kita maupun orang lain.
Apabila kita tidak segera memberikan nasehat kebaikan atau terlambat dalam
memberi nasehat maka akan berdampak buruk meskipun nasehat tersebut telah
dituruti. Hal ini karena segala sesuatunya sudah terlambat.
Apabila kita melihatnya lebih
mendalam lagi bahwa tembang ini sebenarnya merupakan cara dari wali songo untuk
mengajar agama. Tembang gambuh lebih merupakan cara penyampaian ayat suci Al
Qur’an dalam hal ini bisa kita lihat pada Q.S. Al- Ashr: 1-3
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ
الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
“Demi masa, sesungguhnya manusia
itu benar-benar dalam keadaan merugi (celaka), kecuali orang-orang yang
beriman, beramal shalih, saling menasehati dalam kebenaran, dan saling menasehati
dalam kesabaran.” (Al ‘Ashr: 1-3)
Dari ayat tersebut jelaslah
bahwa sebagai sesama muslim bahwa kita harus senantiasa saling menasehati dalam
kebaikan dan kesabaran apabila kita tidak ingin merugi, apabila kita tidak
ingin katulo – tulo katali (kalo menurut lagu gambuh) .
Dalam konteks yang sempit yaitu
di lingkungan keluarga, kita hendaknya saling menasehati antara suami-istri,
ayah – anak, saudara. Bukan untuk saling memusuhi dan menyalahkan. karena pada
hakekatnya manusia itu tempatnya khilaf, jadi sangat mudah untuk mencari khilaf
dan kesalahan seseorang. Disinilah peran kita untuk senantiasa mengingatkan
agar kita tidak menjadi orang – orang yang merugi.
Dalam konteks yang lebih luas
yaitu di kehidupan bernegara inilah kewajiban kita sebagai warga negara untuk
selalu memberikan kontribusi kita dalam fungsi kontrol pemerintah. Kita wajib
mengontrol jalannya pemerintahan karena dengan menjadi fungsi kontrol kita akan
menjadikan pemerintahan yang amanah dan jauh dari kebobrokan.
Inilah tembang sederhana yang
bukan hanya menjadi sarana hiburan saja, akan tetapi kita bisa mengamalkan
pesan moral yang terkandung didalamnya. Dan kita tidak termasuk menjadi bagian
orang yang merugi, orang yang katulo-tulo katali
Berikut saya lampirkan tembang Gambuh.
0 komentar:
Posting Komentar