upacara adat di Pekalongan



UPACARA ADAT PUPUTAN
DI PEKALONGAN
Puputan adalah upacara adat yang masih dilestarikan di sebagian besar Pulau Jawa, seperti halnya di Pekalongan. Puput berarti sudah tanggal tali pusarnya (bayi). Puputan berarti membuat selamatan ketika tali pusar bayi itu sudah tanggal. Tali pusar bayi yang sudah tanggal selanjutnya dimasukkan ke dalam tempat (seperti kendi) yang terbuat dari tanah liat, bersama ari-ari atau embing-embing. Ari-ari dipercaya sebagai teman si bayi atau bahkan sebagai saudara kembar si bayi. Oleh karena itu, kendi yang berisi ari-ari dan tali pusar bayi itu, benar-benar dijaga oleh orang tuanya. Tata cara penyimpanan ari-ari itu, terkesan sangat unik, yaitu dengan cara digantung di belakang rumah dan diberi lampu (dipercaya sebagai penerang untuk saudara si bayi), atau dengan cara mengubur kendi tersebut di halaman rumah.
Waktu putusnya tali pusar bayi tidaklah sama, ada yang 5 hari, 6 hari, 7 hari, bahkan ada yang lebih. Setelah tali pusar bayi putus, keluarga menyiapkan acara slametan untuk si bayi, dan memberikan nama untuk si bayi.
Di daerah saya, ada yang sedikit berbeda dari upacara adat tersebut, yaitu saat tali pusar bayi putus (sore hari/ keesokan harinya) selalu ada upacara cukur rambut. Tata cara pelaksanaannya yaitu:
1)      Keluarga yang dibantu tetangga, masak nasi kuning dan mempersiapkan uang receh sebanyak yang keluarga mampu.
2)      Bayi dimandikan dukun bayi.
3)      Bayi dibedong.
4)      Setelah dibedong, dukun bayi membaca do’a yang ditujukan untuk keselamatan si bayi.
5)      Kemudian, dukun bayi menebar uang receh di depan rumah orang tua si bayi, yang sudah ramai tetangga (mulai dari anak kecil, remaja, orang dewasa, bahkan ada juga nenek-nenek) untuk mengambil uang receh itu, karena dipercaya membawa berkah.
6)      Setelah uang habis ditebar, nasi kuning yang sudah dibungkus daun pisang dibagikan.
Upacara itu bernama udik-udikan.

Lanjut pada malam harinya, diadakan slametan. Slametan dipimpin oleh seorang ustadz. Kadang-kadang, acara slametan seperti itu ada yang digabung dengan berjanjen atau disebut ngambeng. Ustadz membacakan do’a. Kemudian saat melantunkan solawat nabi bapak-bapak berdiri, bayi yang sudah dibedong kemudian diberikan kepada bapak yang satu ke bapak yang lain, seperti estafet hingga pelantunan solawat nabi berhenti. Setelah selesai, ustadz menyebut nama bayi dan mendo’akannya agar menjadi anak yang soleh/ soleha, dan berguna bagi umat dan bangsa.