Mereka (Manusia Hebatku)

3 September 2016 
Bukan sebuah cerita masa lampau. Ini hanya kekhilafan dalam menulis. Semoga saya selalu khilaf, agar senantiasa menulis :D

Bangkit Bayi Sakaputri (Bayi) wanita hebat yang kini telah melalang buana ke negeri orang. Bukan untuk main-main, namun untuk presentasi, kerjaan/ bisnis. Wow. Vivi Noviana Ningrum (Vivi) wanita tangguh yang mampu menakhlukkan “kejamnya” dunia. Dia seorang pengajar di daerah “pelosok” Pekalongan. Cintya Mentari (Cik Men) wanita perkasa yang berani menerjang jalanan, panas-hujan, banjir, becek, demi mengumpulkan data dari tiap-tiap kelurahan di Pekalongan. Mereka bertiga adalah teman, sahabat, sekaligus saudaraku yang berasal dari SMA Negeri 2 Pekalongan. Wanita-wanita strong, pantang menyerah, rajin, dan sekarang sedang menggapai mimpinya. Takjub, bangga, dan tentunya ikut bahagia ketika teman kita sukses. Nha, yang jadi pertanyaan. Lalu, Reni Tiyastika? Apa yang sedang kamu lakukan? Apa yang sudah kamu berikan untuk Ibu Pertiwi? Saya belum melakukan apapun untuk negeriku. Iri, melihat teman-teman yang mempunyai impian atau cita-cita yang menjulang tinggi, sampai pada akhirnya mereka akan menemukan titik kesuksesannya. Berdiam diri, merenung, dan berkaca, apa sih sebenarnya cita-cita saya? Apakah sampai sekarang masih mempertahankan cita-cita saya sewaktu SD? Dari SD hingga SMA aku tak pernah move-on dari impian kecilku itu. Sekarang? Akankah bertahan?
Menjadi guru atau pendidik sebenarnya bukanlah keinginan saya, saya hanya mewujudkan impian mendiang mbah kung saya. Saya sayang beliau, makanya saya ingin mewujudkannya, tanpa merubah impian saya dulu. Saya pikir, impian saya dulu, tak seperti anak SD pada umumnya (yang ingin jadi dokter, polisi, dll), tak setinggi teman-teman saya, dan sepertinya tak seindah mereka. Tetapi, saya yakin saya bisa mewujudkan keinginan mbah kung dan berdampingan dengan keinginan saya, yah keinginan seorang bocah kelas empat SD yang dulu sempat menjadi lelucon di kelas. Karena impian saya dulu adalah …

*isin ngetike* 

Bahasa Sansekerta

8 August 2016
Mendapat mata kuliah Bahasa Sansekerta memberikan kesan tersendiri bagiku. Jujur saja, aksara sansekerta bisa aku jadikan sebagai bahan ‘kode-kodean’ atau sekadar mengungkapkan isi hati. Nah keuntungannya adalah… tidak semua orang mengerti tulisan tersebut, jadi aman tuh kalau mau posting-posting gaje dan sedikit lebay. Terkadang, adanya rasa tak perlu diungkapkan, terlebih lewat lisan. Dan aku menyukai bahasa tulisan. Salah satunya lewat aksara sansekerta. Tak apa tak dimengertinya, yang penting aku plong bisa menuliskannya. Bahkan sampai aku tempel di dinding kamarku. Hampir setiap malam aku menulis tentang apa yang aku rasa, yah walaupun tulisan itu tak bertahan lama di laptopku. Hari ini nulis, besok atau lusa, atau minggu depannya, depannya, dan depannya lagi pasti aku hapus. Hanya tulisan yang enggak banget yang aku hapus. Asli, kadang iuh sendiri baca tulisanku. Aneh kan :D

Nah, kali ini penulis ingin berbagi sedikit ilmu pengetahuan yang didapat selama mengikuti perkuliahan dengan makul Bahasa Sansekerta pada semester 6 lalu. Hanya sebatas ini yang penulis peroleh. Itu juga mata kuliah pilihan. Selamat belajar, mencoba, dan berlatih.





ini gambar yang terakhir, tulus banget dari penulisnya. :D 
terserah orang lain mau berkomentar apa, 
yang jelas penulis hanya sedang ingin mencurahkan isi hatinya. 
ada yang bisa baca ya syukur, gak ada ya gak papa. 
:) 

keluarga kedua sebelum aku berkeluarga :D

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh...

hai semua... 
kembali lagi nih Reni Tiyastika ngepost-ngepost yang gaje-gaje.
sebut kami keluarga Sumur, Sukran Makmur :D
Awal perkenalan kami begitu singkat, dan semua itu aku yang memulai. ceritanya begini.
Waktu itu, H-3 pengambilan jaket KKN, dan kelompokku gak ada yang berkoar-koar, entah lewat SMS atau FB. Padahal di portal sudah dicantumkan nama dan nomer HP masing-masing personil. Yah, aku nekatin aja SMS duluan, biar kenal satu-satu gitu.
Dari awal kenal, mereka sudah welcome gitu sama aku. Dan ternyata benar, mereka orangnya asik. :D

Hari pertama tidur satu atap di posko aja rasanya sudah deket :* udah ngrasa keluarga. Mereka juga orangnya peduli terhadap orang lain, baperan juga sih, tapi wajarlah. itu namanya peka :D
kalian sabar banget yah ngadepin aku, yang dikit-dikit sakit huhuhu...
berapa kali aku migrain dan jatuh serta terpeleset sehingga membutuhkan tukang urut, kalian mau merawatku yang terbaring lemah. huhuhu alay*
Sayang kalian  :* 



bersama anak-anak Dusun Sukran :*













ini foto bersama Bapak dan Ibu Amin beserta sang cucu :*


anak pantura gak tau jalan :p

22 Januari 2016

Ini kisahku bersama teman-teman SMA.
Yah mereka bernama Ayu, Bayi, dan Vivi. Sebenernya sih masih ada satu personil lagi, panggilannya Cikmen. Yah, kami (Aku, Bayi, Cikmen, dan Vivi) berteman sejak kelas satu Sekolah Menengah Atas, tepatnya di SMA Negeri 2 Pekalongan. Kalau Ayu, aku kenal sejak kelas XII. Entah apa yang membuat aku nyaman sama mereka, yang jelas selalu ada kesenangan bila bersama mereka. Mereka itu... temen yang gak ada duanya, gak pernah tergantikan, dan aku pikir, mereka teman yang gak pernah aku temukan dimanapun. Lebay? Enggah ah.

Hari ini, untuk kedua kalinya aku jalan-jalan sama mereka. sampai lupa, kapan terakhir kalinya aku jalan sama makhluk-makhluk ini. Kita gak pernah ada rencana mau pergi kemana, dan parahnya lagi, kita hobi banget nyasar. Bayangkan, di kota sendiri aja kita gak tau jalan, apalagi kalau keluar kota? Sudah jelas... hahaha... disitulah keseruannya.

Berbagi cerita, pengalaman, dan tentunya berbagi keseruan juga. Biarpun waktu untuk kumpul hanya 2-3 jam, kita seneng kok, yang penting kangen terobati. Sayang banget sama temen yang carenya kaya gini. Aku gak ngrasa sia-sia udah jauh-jauh dari Semarang hanya untuk main sama kalian. Terdengar sepele yah? Atau bahkan lebay yah? Maklum aja, kita pernah 2 tahun dalam satu kelas, setiap hari kemana-mana selalu bareng, kena marah guru (sejarah) bareng, dan waktu ulangan, aku juga pernah .... *tuuuuuut sensor ah. Hal itu cukup memalukan.

Thanks kawan,
dari kalian aku belajar caranya ketawa lepas tanpa beban, dari kalian aku belajar menghargai satu sama lain, dan dari kalian aku juga belajar saling mengasihi. Tak ada teman setulus kalian. <3 <3 sehat terus yah... sampai ketemu di perjalanan nyasar kita yang selanjutnya.


Muuuah :*

ini jalan-jalan kita tanggal 17 Januari 2016 (Reni, Vivi, Bayi, dan Ayu; pict 2)



ini jalan-jalan kemarin tanggal 22 Januari 2016


masih ingat ini? ini jalan-jalan kita yang... bisa dikatakan sudah lawas, yaitu tanggal 22 November 2013. sejak hari itu, kita jarang ketemu :'(
Bayi, Vivi, dan Cikmen; pict 2 :*


Filosofi Tembang Durma

Filosofi Tembang Durma

Durma merupakan salah satu bagian dari tembang Macapat atau dalam bahasa sunda disebut pupuh.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata durma berarti merupakan bentuk komposisi tembang jenis macapat (terdapat di Jawa,
Sunda, Bali), biasanya untuk melukiskan cerita-cerita keras (perkelahian, perang). (Sumber : KBBI)
Durma juga berasal dari kata Jawa Klasik / bahasa Kawi yang berarti harimau. Dur sendiri dalam bahasa Jawa Kawi berarti ala (buruk). Sesuai dengan arti itu, tembang Durma berwatak atau biasa diguanakan dalam suasana seram. Harimau adalah lambang dari 4 nafsu manusia, yaitu :
1. Ego centros – nafsu angkara,
2. Polemos –nafsu mudah marah/berangasan,
3. Eros – nafsu birahi/sofia,
4. Relegios – nafsu keagamaan, kebenaran dan kejujuran.
Durma juga bisa diartikan sebagai darma, yaitu sifat ingin memberi atau berderma yaitu keinginan untuk menolong sesamanya yang sedang dalam kesulitan. Durma juga menyiratkan hubungan yang sangat erat antar manusia sebagai makhluk sosial. Dalam menjalankan kehidupannya, manusia senantiasa memiliki ketergantungan pada manusia lainnya.
Dengan adanya ketergantungan tersebut, maka setiap individu dituntut untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Terutama tanggung jawab dalam mengemban tugas. Dalam arti nilai-nilai profesionalisme benar-benar dijunjung tinggi.
Tanggung jawab akan melahirkan rasa aman sekaligus rasa percaya terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Dengan bertanggung-jawab hubungan antara sesama manusia menjadi serasi dan harmonis, sehingga menghilangkan rasa saling curiga dan buruk sangka. Dengan demikian maka hubungan yang dilandasi saling percaya, saling ketergantungan, saling bertanggung-jawab serta memiliki keterikatan yang kuat akan menjauhkan manusia dari segala permusuhan.

Berikut contoh tembang Durma:


Kakawin Ramayana

Kakawin Ramayana

        

Dua lembar lontar kakawin Ramayana yang tertua dan sekarang disimpan di Perpustakaan Nasional R.I. Lontar ini berasal dari pegunungan Merapi-Merbabu, Jawa Tengah dari abad ke-16 M.

Kakawin Rāmāyaṇa (aksara Bali: , Jawa: ) adalah kakawin (syair) berisi cerita Ramayana. Ditulis dalam bentuk tembang berbahasa Jawa Kuna, diduga dibuat di Mataram Hindu pada masa pemerinthan Dyah Balitung sekitar tahun 820-832 Saka atau sekitar tahun 870 M. kakawin ini disebut-sebut sebagai adikakawin karena dianggap yang pertama, terpanjang, dan terindah gaya bahasanya dari periode Hindu-Jawa. Menurut tradisi Bali, Kakawin Ramayana ini dipercaya ditulis oleh seorang bernama Yogiswara. Hal ini ditolak oleh Prof. Dr. R.M.Ng. Purbatjaraka. Menurutnya, Yogiswara memang tercantum pada baris terakhir Ramayana versi Jawa ini, tetapi hal itu bukan merupakan identitas penulis, tetapi kalimat penutup yang berbunnyi :
Sang Yogiswara çista, sang sujana suddha menahira huwus matje sira
kalimat tersebut jika diterjemahkan demikian:
Sang Yogi (pendeta/begawan) semakin bertambah pandai, Para sujana (cendekia/bijak) semakin bersih hatinya setelah membaca cerita ini.
Jadi, Yogiswara bukan nama penulis Ramayana Jawa ini.
Syair dalam bentuk kakawin ini adalah salah satu dari banyak versi mengenai kisah sang Rama dan Sita, wiracarita agung yang versi awalnya digubah di India oleh Walmiki dalam bahasa Sanskerta. Beberapa peneliti mengungkapkan, bahwa Kakawin Ramayana versi Jawa ini ternyata tidak sepenuhnya mengacu langsung kepada Ramayana versi Walmiki, akan tetapi mengacu ini merupakan transformasi dari kitab Rawanawadha yang ditulis oleh pujangga India kuno bernama Bhattikawya. Hal ini disimpulkan oleh Manomohan Ghosh, seorang peneliti sastra dari India yang menemukan beberapa bait Ramayana Jawa yang sama dengan bait bait dalam Rawanawadha.
Dari segi alur cerita, Kekawin Ramayana juga memiliki perbedaan dengan Ramayana Walmiki. Pada akhir cerita, sekembalinya Rama dan Sita ke Ayodya, mereka berpisah kembali, jadi Rama dna Sita tidak hidup bersama, demikian versi Walmiki. Sedang dalam versi Jawa, Rama dan Sita hidup bersama di Ayodya.

Ringkasan
Prabu Dasaratha dari negeri Ayodya memiliki empat putra; Rama, Bharata, Laksmana dan Satrughna. Maka suatu hari seorang resi bernama Wiswamitra memohon bantuan Sri Paduka Dasaratha untuk menolongnya membebaskan pertapaannya dari serangan para raksasa. Maka Rama dan Laksamana berangkat.
Di pertapaan, Rama dan Laksmana menghabisi semua raksasa dan kemudian mereka menuju negeri Mithila di mana diadakan sebuah sayembara. Siapa menang dapat mendapat putri raja bernama Sita. Para peserta disuruh merentangkan busur panah yang menyertai kelahiran Sita. Tak seorangpun berhasil kecuali Rama, maka mereka pun menikah dan lalu kembali ke Ayodya.
Di Ayodya Rama suatu hari akan dipersiapkan dinobatkan sebagai raja, karena ia adalah putra sulung. Namun Kaikeyi, salah seorang istri raja Dasaratha yang bukan ibu Rama berakta bahwa sri baginda pernah berjanji bahwa Bharata lah yang akan menjadi raja. Maka dengan berat hati raja Dasaratha mengabulkannya karena memang pernah berjanji demikian. Kemudian Rama, Sita dan Laksmana pergi meninggalkan istana. Selang beberapa lama, raja Dasaratha meninggal dunia dan Bharata mencari mereka. Ia merasa tidak pantas menjadi raja dan meminta Rama untuk kembali. Tetapi Rama menolak dan memberikan sandalnya (bahasa Sanskerta: pâduka) kepada Bharata sebagai lambang kekuasaannya.

 


Relief Sita yang diculik. 
Maka Rama, Sita dan Laksmana berada di hutan Dandaka. Di sana ada seorang raksasi bernama Surpanakha yang jatuh cinta kepada Laksmana dan ia menyamar menjadi wanita cantik. Tetapi Laksmana tak berhasil dibujuknya dan malahan akhirnya ujung hidungnya terpotong. Surpanakha marah dan mengadu kepada kakaknya sang Rahwana (Rawana) dan membujuknya untuk menculik Sita dan memperistrinya. Akhirnya Rahwana menyuruh Marica, seorang raksasa untuk menculik Sita. Lalu Marica bersiasat dan menyamar menjadi seekor kijang emas yang elok. Sita tertarik dan meminta suaminya untuk menangkapnya. Rama meninggalkan Sita bersama Laksmana dan pergi mengejar si kijang emas. Si kijang emas sangat gesit dan tak bisa ditangkap, akhirnya Sri Rama kesal dan memanahnya. Si kijang emas menjerit kesakitan berubah kembali menjadi seorang raksasa dan mati. Sita yang berada di kejauhan mengira yang menjerit adalah Rama dan menyuruh Laksamana mencarinya. Laksmana menolak tetapi akhirnya mau setelah diperolok-olok dan dituduh Sita bahwa ia ingin memilikinya. Akhirnya Sita ditinggal sendirian dan bisa diculik oleh Rahwana.
Teriakan Sita terdengar oleh burung Jatayu yang pernah berkawan dengan prabu Dasaratha dan ia berusaha menolong Sita. Tetapi Rahwana lebih kuat dan bisa mengalahkan Jatayu. Jatayu yang sekarat masih bisa melapor kepada Rama dan Laksmana bahwa Sita dibawa ke Lengka, kerajaan Rahwana.
Kemudian Rama dan Laksmana mencari kerajaan ini. Di suatu daerah mereka berjumpa dengan kera-kera dan seorang raja kera bernama Bali yang menculik istri kakaknya. Akhirnya Bali bisa dibunuh dan istrinya dikembalikan ke Sugriwa dan Sugriwa bersedia membantu Rama. Akhirnya dengan pertolongan bala tentara kera yang dipimpin Hanuman, mereka berhasil membunuh Rahwana dan membebaskan Sita. Sita lalu diboyong kembali ke Ayodya dan Rama dinobatkan menjadi raja.

Contoh teks
Oleh para pakar dan sastrawan, kakawin Ramayana dianggap sebuah syair yang sangat indah dalam bahasa Jawa Kuna seperti sudah disinggung di atas. Di bawah disajikan beberapa cuplikan dari teks ini beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia.


Kiasan

Jawa Kuna
Terjemahan
Kadi mégha manghudanaken,
Seolah-olah awan yang menghujani,
pad.anira yar wéhaken ikang dâna,
begitu persamaannya apabila memberi sumbangan,
dînândha krepan.a ya winéh,
orang hina-dina dan cacat juga diberi,
nguni-nguni d.ang hyang d.ang âcârya.
apalagi para pandita dan orang suci.
 

Aliterasi

Jawa Kuna
Terjemahan
Molah wwaining tasik ghûrnnitatara gumuruh dényangin sang Hanûmân,
Air laut berombang-ambing dengan dahsyat dan bergemuruh karena angin sang Hanuman.
kagyat sésînikang sâgara kadi ginugah nâga kolâh alâwû,
Terkejutlah seluruh isi laut, seakan-akan naga dikocok dan menjerit terbangun.
lunghâ tang bâyu madres kayu-kayu ya katûb kampitékang Mahéndra,
Berlalulah angin ribut dan pohon-pohon kayu jatuh bertumbangan, seakan-akan gunung Mahendra bergetar.
sakwéhning wânarâ nghér kaburu kabarasat sangshayé shatru shakti.
Semua kera yang berdiam di sana terbirit-birit lari ketakutan seakan-akan dikejar oleh musuh yang sakti.


Lukisan alam

 



Hanuman dalam bentuk boneka wayang kulit dari Yogyakarta.
(Bhramara Wilasita)

Jawa Kuna
Terjemahan
Jahnî yâhning talaga kadi langit,
Air telaga jernih bagaikan langit,
mambang tang pâs wulan upamanikâ,
Seekor kura-kura yang mengambang seolah-olah bulan,
wintang tulya ng kusuma ya  sumawur,
Bintang-bintangnya adalah bunga-bunga yang tersebar,
lumrâ pwêkang sari kadi jalada.
Menyebarlah sari-sarinya, seakan-akan awan.

Hubungan dengan teks-teks lain
Kakawin Ramayana setelah diteliti oleh para pakar ternyata secara detail tidak mirip dengan versi-versi Ramayana di Nusantara lainnya, seperti Hikayat Sri Rama dalam bahasa Melayu, Serat Rama Keling dalam bahasa Jawa Baru dan juga relief-relief Ramayana yang terdapatkan di Candi Prambanan.
Setelah diteliti ternyata sebagian besar kakawin Ramayana berdasarkan sebuah syair dalam bahasa Sanskerta dari India yang berjudul Rāvaṇavadha yang ditulis oleh pujangga bernama Bhaṭṭikāvya dari abad ke-6 sampai 7.
Dalam sastra Jawa Baru, kakawin Ramayana digubah ulang oleh kyai Yasadipura menjadi Serat Rama.